Selamat pagi, Oma.
Nafas hangat, menyentuh ujung jari kaki ku, seperti tiupan hangat dari arang yang mulai hidup. Dari jari kaki, nafas hangat tersebut menyusuri lutut ku. Lantas paha ku, pinggul ku, perut ku, sebentar lagi akan sampai ke wajah ku. Aku bukakan mata memandang pemilik nafas hangat tersebut. Ana, anjing kepunyaan anak ku yang aku jaga untuk satu bulan, memundurkan diri. Wajah nya ia tarik berapa centimeters menjauhi wajah ku. Matanya membalikkan tatapan ku dengan penuh anticipasi. Aku pejamkan mataku lagi.
Hanya beberapa detik berlalu ketika aku rasakan nafas hangat Ana kembali meniup wajah ku.
Ada orang yang menyamakan nafas hangat seekor anjing dengan nafas segar seorang bayi. Harum, murni , tanpa dosa. Ada pula yang menyamakan nafas tersebut dengan bau sampah umur seminggu. Menurutku, nafas hangat Ana baunya tidak banyak beda dengan anjing bersih yang lain, mungkin sedikit lebih segar dari tambahan mint yang aku masukan di air minumnya.
Kalau aku tetap pejamkan mata ku, Ana akan mulai merenggek berupa suara kecil yang ia simpan di tenggorokannya serupa dengan suara karatan pintu mobil yang di buka. Kalau suara renggekannya gagal menarik perhatian ku, Ana akan mulai berdansa dengan kaki depan bergantian bergerak ke kanan atau ke kiri. Seperti pelawak mabuk. Kadang aku menggoda anjing ini dengan pura pura tidak mendengar renggekannya sehingga bisa melihat Ana berdansa. Tapi hari ini, karena hari minggu, hari suci, aku merasa dosa ku akan bertambah puluhan lipat kalau aku mengoda Ana. Jadi aku buka mataku lagi.
“ Hello, Ana. Selamat pagi.” Aku sapa dia.
Ana,mendengar suara ku dan menyaksikan aku sudah melek, mulai mengoyangkan ekor nya dengan penuh semangat
“ Selamat pagi, Oma.”
Ana melangkah mundur. Berhenti. Langkah maju. Berhenti. Mundur lagi….menunggu sang Oma, turun dari ranjangnya.
Begitu kaki ku menyentuh lantai, Ana secepatnya lari ke arah pintu depan rumah. Ekornya bergoyang tidak sabar, menunggu kedatangan Oma tua nya, untuk membuka pintu depan.
Dengan pintu depan se tengah terbuka, anjing dan Oma, bersama berdiri di dalam bingkai pintu.
Mata waspada Ana, beredar, mengawasi keadaan halaman kecil di depan rumah. Kwatir jika ada musuh alami masih mengincar dia. Aku sendiri melebarkan mata, mengawasi jalanan di depan rumah ku. Kwatir jika ada tetangga yang lagi jalan jalan di pagi yang masih gelap ini. Aku belum bersedia membuat dosa besar, dengan membuat tetangga pingsan. Karena aku bisa jamin, wajah “Selamat Pagi” ku, lumayan mengerikan. Wajah “Selamat Pagi” ku lebih ngeri dari wajah Cruella De Vil, setelah di serang oleh 101 Dalmatians.