Saturday, March 12, 2016

Jalan Jalan ke Jakarta, part 2.

    Jalan Jalan ke Jakarta. Part 2.
        …..penerbangan dari Tokyo ke Jakarta. …..



    Teman duduk saya dalam penerbangan menuju Jakarta, seorang pria berkulit putih sebaya umurnya dengan saya. Dia duduk di aisle-seat, saya di window-seat. Dia sapa: hello, saya sapa: hello.  Dia baca buku. Saya baca buku. Dia makan. Saya makan. Dia tidur. Saya tidur. Kami seperti bayangan atau cermin dari satu sama lainnya.Begitulah perkenalan kami. Harmoni. 
     Delapan setengah jam lagi sebelum Jakarta.

    Tapi ketika saya ingin ke kamar kecil, dia tetap tidur. Saya sentuh dia beberapa kali, dia tidak bangun. Saya sentuh sambil  ahem…ahem…dia tidak bangun. Terpaksa saya  keluarkan Kung Fu dahsyat saya. Saya lemparkan sepatu saya ke aisle pesawat kemudian dengan hati hati lompati dia dengan sukses. Kesuksesan ini membuat saya merasa lebih muda, tepatnya menjadi anak kecil yang nakal . Sayangnya setelah saya selesai pakai kamar kecil dan kembali ke kursi saya, Kung Fu saya kehilangan dahsyatnya . Melompat kembali ke kursi yang sempit tanpa tempat untuk ber pegangan, sangat impossible. Lama juga saya  mondar mandir di aisles di tengah pesawat. Sampai akhirnya ada turbulent, seat-belt lampu dinyalakan. Pramugari melotot ke arah saya. Saya terpaksa bangunin dia. 

    Waktu dia buka mata dan melihat saya yang lagi berdiri di luar kursi kami, dia bingung…kok?

    “Saya lompatin kamu tadi. Maaf,” saya jelaskan. 
    “Lain kali bangunkan saya. Nggak apa apa kok,”katanya. 
    Saya bilang,”Ok.” Tapi dalam hati ngumpet:  kalau kamu gampang dibangunin saya tidak perlu loncat tadi itu. 

     Dia keluar dari kursinya memberi ruangan untuk saya masuk ke kursi saya. Saat itu tiba tiba pesawat bergelojak menerima pengaruh turbulent. Dia kehilangan keseimbangan, badannya menabrak badan saya. Obsession by Calvin Klein, memenuhi hidung saya. BBku seperti got yang macet seminggu. BB dia segar seperti orang mau ke pesta. Tidak harmoni.
     Dua jam lagi sebelum Jakarta.

    “Maaf…”giliran dia yang minta maaf.
    “Nggak apa apa,” jawab saya. Dengan tergesa saya duduk di kursi saya dan pasang seatbelt.

     “Turbulentnya lumayan,” kata dia beberapa menit kemudian ketika pesawat tergoncang lagi. 
     “Yah, lumayan,” saya jawab dengan sopan.
     “Tadi ketiduran. Turbulent nggak terasa, sudah lama...?”
     “Nggak. Tapi kalau lagi di plototin mbak pramugari, rasanya tahunan.”
     Dia tertawa menunjukan gigi sehat yang putih rapi ,seperti tembok putih sebuah benteng.  Saya tertawa juga. Harmoni kembali.
     “Biasanya staff Asian airline lebih ramah daripada yang American,” katanya.
     “Betul. Hm…sering ke Asia?” saya basa basi.
     “Asia, dua kali setahun. Tapi ini kunjungan ketiga ke Indonesia. Terakhir kali tiga tahun yang lalu.” 
     “Menikmati Indonesia?”
     Dia menggeleng.” Belum pernah kemana-mana. Hanya conference di Jakarta, lantas balik ke U.S.”
     “Sayang,” saya bilang. 
     “Business. No pleasure,”dia ketawa kecil,”Tapi kali ini rasanya saya akan punya waktu mengunjungi Jogjakarta. Dari buku yg saya baca, kelihatannya menarik. Penuh sejarah.” 
     Saya lirik buku yang dia baca tadi dan sekarang terbengkalai di kursi kosong diantara kursi kami. ‘PRAMBANAN’ judulnya.
     "Pernah ke sana?” 
     Saya menganggukkan kepala. “Waktu masih muda. Beberapa kali.”
     “Tempat menarik?” 
     “Lumayan. Lebih menarik jika ada Lara Croft.” 
     Dia menaikkan alis mata, “Lara Croft, The Tomb Raider? The game, Angelina Jolie?” 
     Saya anggukan kepala.
     Dia ketawa kecil. “Rasanya waktu itu, Lara Croft belum di inventasi.” 
     “Oh, terimaksih untuk mengingatkan ‘ketuaan’ saya,” saya bergurau setengah ketawa.
     Dia ikut tertawa, sekali lagi saya melihat giginya yang sehat, putih dan rapi. Membuat gigi saya seperti kuningan rasanya. Tidak harmoni. 
    “No, problem," ucapnya mengembalikan gurauan saya.

    Selanjutnya percakapan kami berkisar antara film, tempat yang pernah kiami kunjungi , buku yang kami baca serta pengarangnya. Pramugari datang dan pergi dengan snacks dan minuman. Sebentar  lagi pesawat akan melandas di Jakarta.

    Dua hari telah lewat sejak saya mandi terakhir. BB saya cukup membuat tikus  tergeletak pingsan.. Rambut saya rasanya lebih lengket ke kepala saya daripada manisan karet di jalanan lengket ke bawah sepatu. Tapi dia kelihatan fresh. Rambutnya yang berwarna strawberry blonde, walaupun tipis, kelihatan bersih. Mata abu-abu birunya masih jernih, tidak bengkak kemerahan seperti mata saya. Tidak harmoni.
   Tapi percakapan kami cocok sekali. Harmoni. 

   Ketika pesawat melandas, percakapan kami juga tiba tiba melandas karena dia baru ingat dia belum punya embankment card jadi dia sibuk cari pramugari. Saya sendiri bergegas  keluar dari pesawat kemudian secepatnya mencari kamar kecil untuk menghindari antrian panjang. 

    Setelah selesai dengan kamar kecil saya jbaru sadar embankment card di tas saya belum lengkap.  Saya berhenti di kios informasi yang kosong. Meminjam mejanya untuk tempat menulis, melengkapi beberapa pertanyaan terakhir. 

    “Hi,” dia sapa dari belakang saya, “Ketemu lagi. Boleh numpang?” tanyanya tersenyum. 
    “Tentu saja. Silahkan.”saya geser kertas dan tas saya, membuka cukup tempat kosong di atas meja untuk dia menulis.

    Dia mulai sibuk melengkapi embankment cardnya. Tulisan rapi, tangan dan kuku bersih terawat. Tulisan saya, cakar  ayam.Tangan dan kuku saya seperti kulit kayu. Tidak harmoni. 

    Begitu saya selesai melengkapi embankment card, saya mengucapkan goodbye, kemudian berjalan ke arah imigrasi. Setelah beberapa langkah, saya dengar dia memanggil saya…

    “Wait….what’s your name?” 

     Saya rasa saya akan ingat moment yang kami share di pesawat itu lumayan lama, mungkin seumur hidup, karena kapan lagi saya, sebagai wanita setengah umur, akan bisa dan cukup kuat melompati penumpang lain di dalam penerbangan?  Percakapan ringan kami tentang film, buku, travel places, juga sempat membuat saya merasa lebih muda dan care-free, tapi.....   
     Waktu dan tempat, menciptakan moments. Kadang moments berlanjur seumur hidup. Kadang moments hanya satu moment saja. 
     Moments kami seperti moment yang terakhir. Moment kami berakhir bersamaan dengan berakhinya penerbangan.  

    Tanpa membalikkan badan, saya melambaikan tangan perpisahan ke arahnya dan melanjutkan langkah saya ke imigrasi. 
    
      ........Jakarta menantikanku.......



2 comments:

  1. Nice pic...nice story...nice travel buddy

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thanks Tirsa. Monas nya agak miring. He..he.. Iya bercakap cocok dgn org yg baru kenal selalu...hm..hm...ya kan?

      Delete