Saturday, March 19, 2016

Jalan Jalan ke Jakarta. Part 1.

Jalan Jalan ke Jakarta. Part 1.
        ……penerbangan dari Chicago ke Tokyo…..

     Banyak teman saya bercerita tentang tempat indah dan menarik yang mereka kunjungi di Jakarta, seperti ; Monas, Ancol, Pasar Senayan dan puluhan tempat lain termasuk mega Mall yang super modern. 
     Tetapi mereka juga tidak pernah lupa menceritakan betapa ‘seramnya’ Jakarta; super mahal, jalan macet ber jam-jam, udara panas, polusi dan tentu saja penipuan atau pencopetan. 
     Dengan pro dan con ini, Jakarta menjadi salah satu kota yang saya sangat ingin kunjungi tetapi kunjungan yang saya selalu tunda. 
     Tapi kali ini, karena ticket ke Jakarta, lebih murah daripada ticket langsung ketujuan saya, saya akhirnya memutuskan mengunjungi Jakarta. Tiga hari di Jakarta sebelum melanjutkan penerbangan saya. 
    
     Penerbangan domestic membawa saya ke Chicago O’Hara airport. Dari Chicago saya akan terbang ke Tokyo, lantas Jakarta. Jakarta yang selalu dekat di hati tapi belum pernah dilihat mata, beberapa jam lagi akan berada dalam pelukan saya. 
     
     ‘Jakarta bersiap-siaplah anda menerimaku.’ 
    
     Karena O’Hara hub yang penting di Midwest Region, untuk penerbangan international atau domestic, saya lumayan sering singgah di sana. Terakhir kali saya singgah di sana, terminal International sedang dalam process dimodernisasikan. Sekarang semua kontruction sudah selesai.
     Yang pertama kali saya notice adalah atap yang melunjang tinggi dan luasnya terminal. 
    Kedua, sebagai wanita setengah umur seperti saya yang sering kali perlu ke kamar kecil, keadaan kamar kecil umum menerima perhatian saya. Setiap kamar kecil berukuran lumayan besar sehingga para penumpang dengan mudah bisa membawa bagasi mereka ke dalam kamar kecil. Plus, toilet seatnya dibungkus oleh plastic. Layangkan tangan di atas lampu sensor, kantong plastic lama bergerak, diganti oleh yang baru. Praktis sekali. 
   Ketiga, pilihan dining restaurant dan fast-food franchises juga bertambah. Disamping itu banyak kiosk kiosk kecil yang menjual botol minuman dan makanan kecil. 
   Chicago terkenal dengan stuffed pizza ala Chicago dan hot-dog dengan topping ala Chicago. Sayangnya perut saya agak sensitif dengan pizza atau  hot-dog. Dengan waktu penerbangan dan transit hampir 32 jam sebelum sampai di Jakarta, saya putuskan untuk membeli makanan yang ‘aman’ untuk perut saya; satu breakfast sandwich dari McDonald. Di luar airport sandwich yang biasanya berharga $1, di airport dijual $3. Air botol pun harganya tiga kali lipat dibandingkan di luar airport. 
    Karena waktu transfer lumayan lama, saya gunakan untuk jalan-jalan di terminal sambil window shopping, browsing, atau ‘just looking-looking’, terjemahan langsung dari bahasa Indonesia ‘lihat-lihat saja’. 
   
     Souvenir yang dijual di airport kebanyakan bertema Chicago sport teams. Yang paling terkenal; Chicago Bulls untuk bola basket, Chicago Cubs untuk baseball. 
    Museum Natural History di Chicago, terkenal sebagai satu museum yang mengandung fossil lengkap T-Rex yang bernama Sue. Saking terkenalnya fossil dinosaurus ini, O’Hara airport juga pajang satu fossil tiruan seekor dinosaurus di tengah-tengah terminal. Tinggi fossil menyentuh atap terminal. 


     Capai dari browsing sekeliling terminal, saya mengambil tempat duduk di sebuah rangkaian kursi yang berjejer di dekat pintu penerbangan saya dan mulai browsing Internet. O’Hara menyediakan internet gratis hanya untuk 30 menit pertama. Setelah itu penumpang harus bayar. Tapi kalau semua cookies dan browser history di hapus setelah waktu 30 menit berakhir, Internet gratis bisa didapatkan lagi. Sayangnya, saya tidak tahu  trick ini.  Jadi setelah 30 menit lewat, Internet gratis habis, browsing Internet selesai, saya mulai mem-browsing penumpang di sekeliling saya. 
    
    Di depan rangkaian kursi saya, kira-kira lima puluhan  pelajar seumuran SMA berbahasa Jepang, berseragam sweatshirt putih dengan gambar matahari terbit berwarna biru di depan baju, asyik bermain atau bercakap dalam kelompok kelompok kecil.
   
    “Remaja dimanapun, sama saja. Gaduh. Betul nggak?” Seorang wanita yang duduk dekat saya bertanya ke arah saya.
     “Kalau nggak, ya, bukan remaja namanya,”saya katakan dengan tersenyum. 
     “Benar juga. Syukurlah jaman remaja kita sudah lewat. Remaja, jaman yang tidak nyaman. Betulkan?” 
     
     Saya hanya angkat bahu, karena setiap orang mempunyai pengalaman yang berbeda. Masa remaja saya ada pahit, ada manisnya. Kemudian wanita tersebut mulai bercerita tentang masa remajanya. Ceritanya lumayan menarik, walaupun agak sukar bagi saya menangkap semua cerita segala jelas, karena keramaian bendara  dan logat  ‘Southern’ wanita tersebut yang lumayan berat, Sayangnya sebelum ceritanya selesai, penerbangan saya ke Tokyo mulai boarding. 
     
     Teman duduk saya untuk penerbangan ke Tokyo, seorang pria muda Jepang, yang dengan ramah memperkenalkan diri. Dia baru selesai mengikuti seminggu science conference di Florida. Merasa sangat capai karena dia mulai perjalanannya dari hotel di Florida, hampir semalam sebelumnya. Jadi dia merencanakan untuk tidur sepanjang penerbangan, lagi pula Tokyo bukan tujuan terakhir. Dari Tokyo dia harus naik bullet train, bus, taxi sebelum sampai di rumahnya. 
  
    “Pesawat, kereta api, bus dan taxi….hanya boat yang ketinggalan,”saya komentar.
    Dia tertawa.” Benar juga. Syukur tidak perlu naik boat. Kalau tidak, saya bisa mati kecapaian.”
    Saya rasa, saat itupun teman duduk saya itu sepertinya hampir mati kecapaian. Mata sipitnya hampir tidak bisa dia buka. Dan dia benar-benar ketiduran sepanjang penerbangan, tidak makan,minum, atau ke kamar kecil. Tidak bergerak sedikitpun dari kursinya. Ajaib. 

Bendara Narita, tidak seperti yang saya ingat di kenangan saya. Atap rasanya lebih pendek, terminal rasanya lebih sempit hanya kebersihannya masih sama. 
    Kamar kecil di Narita tidak punya toilet-seat yang dibungkus plastic, tapi punya stereo kecil yang menempel ke disamping toilet. Pencet tombol, music air terjun akan bergema di kamar kecil anda. Tujuannya, agar para pemakai kamar kecil tidak merasa sungkan melakukan businessnya. Lucu? Aneh? Masuk akal? Setiap penumpang punya pendapat berbeda. 
    Karena waktu transfer di Narita tidak begitu lama, saya mencoba memakai waktu saya di sana dengan bijaksana. Yang pertama kali saya ingin coba di Narita, adalah fresh sushi yang di buat oleh orang Jepang ‘asli’, bukan Jepang ‘tiruan’.


    Saya daftar nama saya di salah satu sushi cafĂ© yang lumayan ramai. Setelah menunggu 15 menit, saya dipersilahkan untuk duduk di kursi dengan meja yang menghadap jendela, dimana saya bisa lihat pesawat pesawat yang lagi di service di luar terminal. Saya order sushi rolls, sushi bowl, Mizo soup dan teh hijau kas Jepang. Karena saya tidak tahu bahwa mereka menaruh Wasabi di dalam gulungan  sushi rolls, saya hampir kehilangan nafas ketika saya makan sushi pertama.  Pengalaman baru.  
     Mengingatkan saya akan….
       …...ratusan pengalaman baru yang  menunggu saya di Jakarta. 
    
      Saya merasa tidak sabar untuk bertamu di Jakarta. 

Sunday, March 13, 2016

Jalan Jalan ke Jakarta. Part 3.

Jalan Jalan ke Jakarta. Part 3.
         …..Jakarta menantiku…….
    

      Selesai dan lolos dari imigrasi saya ambil bagasi. Kemudian mengekor barisan untuk lewat bea-cukai. Ada pegawai yang melambaikan tangan sambil memanggil para penumpang : silahkan… …silahkan…...
      Saya menuju ke pegawai tersebut, sekali lagi dia umumkan : silahkan…..silahkan……
     Jadi ...... saya lewatin itu pegawai…
    
      “Bu…Bu…tunggu! Bagasi Ibu harus di check dulu.”dia panggil  sambil meraih bagasi saya. “Semua bagasi harus di check, Bu. " Dia menjelaskan dengan senyum ramah. 
      Saya juga tersenyum, “Maaf, saya kira, silahkan… silahkan…itu artinya saya boleh lewat.” 
     “Bukan, Bu. Magsudnya, silahkan check disini.”katanya dengan sopan. 
     Oh…..

     Setelah terbiasa diperlakukan oleh bea-cukai America yang berteriak-teriak ke para pengunjung, seperti tentara Hitler berteriak ke orang Jahudi di concentration camp, menerima perlakuan bea-cukai Jakarta yang ramah dan sopan, merasa agak aneh dan lumayan membingungkan.  

    Pegawai tersebut lewatkan bagasi saya ke dalam machine pemeriksaan.
   “Silahkan, Bu.”ucapnya dan menunjukan arah untuk saya ambil bagasi di ujung sebelah lain dari machine. 
   “Terimaksih, Bu.” Ucap pegawai yang menolong saya mengambil bagasi di ujung lain tersebut. 
    Bu….bu…Ibu…
    Ketika saya meninggalkan Indonesia saya dipanggil…mbak…mbak…atau...dik...adik...
    Sekarang, .....Bu…Ibu…
    Ah, waktu cepatnya berlalu. 

     Selesai dengan bea-cukai, saya berjalan mengikuti arah panah di lantai, keluar dari bendara. 
     
    Hello, Jakarta!!!
     
    Jakarta tanpa malu memeluk saya dengan hangatnya.
    
    Tidak hanya hangat, tapi cukup panas untuk membuat keringat saya mengalir seperti pancoran. Padahal saya sampai pada tengah malam. Satu persatu saya mulai melepaskan baju saya seperti stripper amatir ; Jacket, baju lengan panjang, baju lengan pendek, hanya tank-top akhirnya tersisa menempel di badan atas saya.  

    Pandangan saya mencari-cari keluarga yang seharusnya datang menjemput. Tapi mereka tidak kelihatan, akhirnya saya duduk di lantai dekat dengan depan pintu. Setelah hampir setengah jam, saya mulai memikirkan untuk telpon mereka. Apa jalan di Jakarta macet juga pada tengah malam? 

    Saya mulai memperhatikan orang-orang yang mondar mandir di depan pintu bendara, mencoba mencari wajah yang ramah, yang saya bisa pinjam telponnya. Kemudian baru ingat, saya tidak punya nomor telpon. Semuanya simpan di Skype. Tanpa Internet, Skype tidak bisa dibuka. Tidak ada Skype, tidak ada nomor telpon. Technology!!!!!

   Untunglah akhirnya jemputan saya datang. Setelah sedikit engineering dalam menaruh bagasi saya di mobil, kami semua bisa meninggalkan bendara menuju ke hotel via highway. 
 
   Mungkin mata saya lamur, tapi highway di Jakarta hampir sama dengan di A.S. Banyak truck dan punya beberapa jalur.  Bayar toll sesering di toll-road daerah Chicago. Hanya kecepatan mobil tidak secepat  di A.S.

   “Jakarta lumayan bagus. Highway-nya keren,” saya komentar. 
   “Ini tengah malam, nggak macet. Jam pergi-pulang kantor, lumayan macet.” Mereka jelaskan.”Tapi kita di Tengerang, bukan Jakarta.” 

     Setelah hampir sejam di mobil, kami sampai di hotel atau tepatnya ‘guest-house’. 
    “Kita di Jakarta?”saya tanya.
    “Tidak. Masih di Tengerang.” Jawaban yang saya dapat. 

    Pagi hari selanjutnya begitu bangun, saya melihat keluar jendela. Jalanan sepi, hanya beberapa mobil yang lewat. 
    “Sepi jalannya. Tidak seramai yang saya sangka.” 
    “Kita di Tengerang. Jalan ya, sepi. Jakarta beda.”
     Okay....

   Untuk makan siang saya diajak ke restaurant yang terkenal dengan aneka sambal unique yang pedasnya bisa diukur seperti cuaca diukur thermometer. Udara panas. Panasnya sambal? Lebih dahsyat. Wow, saya tidak sabar tunggu.
    Habis makan, makanan super hot sambal dan ayam goreng, saya tanya ;  “Ini Jakarta?”
    “Bukan, ini Tengerang.”

     Pada sore hari saya diajak ke Mall baru ber lantai enam dan super modern. Di dalam mall banyak ada makanan dan minuman franchised dari America, Australia dan Inggris. Tapi yang paling menarik adalah Japanese bakery dan food court-nya. Segala macam sushi, tempura, pancake dijual di sana. Semua dibuat fresh. Suasana food court seperti di Jepang dan bukan Jakarta. 
    
    “Kita di Jakarta?”saya tanya.
    “Tidak, ini masih di Tengerang.” 

      'Cold Stoned Creamery'   'Aneka sushi'. 'Mie goreng di atas pancake.'

    Cuaca sudah mulai gelap ketika kami meninggalkan Mall untuk kembali ke hotel. Karena jalan menuju Mall, jalur satu arah, pulangnya kami harus ambil jalan lain. Sempat juga kita tersesat. Karena GPS tidak updated jalan yang lagi di tutup untuk diperbaiki. Mutar mutar diantara banyak traffic, saya tanya; 
    "Ini Jakarta.?” 
    “Bukan. Kita masih di Tengerang.” 

   Besoknya, saya diajak minum kopi di coffee house yang terkenal di Jakarta. Mereka tidak jual frappĂ©,  tapi jual kopi hangat atau didinginkan dengan es batu. Okay. Herannya, coffee house ini sebagai coffee house yang terkenal di Jakarta, sedikitpun tidak berbau kopi. 
    “Terkenal di Jakarta. Kita di Jakarta?” 
    “Bukan. Ini masih Tengerang.” 

    Malam itu, saya di traktir lagi untuk mencoba makanan di restaurant yang terkenal di Jakarta. Restaurantnya outdoor. Mereka jual seafood. Kebanyakan seafood tersebut masih hidup dan berenang dengan santai di dalam puluhan aquarium besar, sebelum pengunjung restaurant membuat pilihan mereka, kemudian pilihan seafood ini ditimbang oleh pegawai restaurant, lantas diserahkan ke dapur, dimana seafood ini dipanggang, dimasak, digoreng  atau direbus. 

    'Udang Barong' dlm aquarium di 'Bandara Jakarta'. Mirip binatang purba drpd udang. 

    Saya baca nama restaurantnya yang ditulis dengan lampu neon super besar di puncak atap restaurant. ‘ Bandara Jakarta.’
    
    Ha….! Akhinya.!!....Jakarta!!!

   “Kita sekarang pasti di Jakarta.”saya katakan.
   “Bukan. Ini masih di Tengerang.”
    Lho.....?
   “Jakarta setengah hari dari sini kalau jalan tidak macet.” 
   “Setengah hari? Jauh banget. Tengerang bukan tetangga dekat dengan Jakarta?” 
    “Tengerang adalah  kota dan daerah lain dari Jakarta.”
    “Monas tidak bisa kelihatan dari sini?”
    “Monas di Jakarta pusat. Lebih jauh lagi.”
    “Jadi…..????”
 
    Seharusnya article ini judulnya : Jalan Jalan ke Tengerang.

    Setelah melewati dua hari penerbangan akhirnya : Jakarta yang jauh di mata, tetap jauh dari pandangan mata saya. Jakarta yang saya peluk di hati, masih belum sempat mengembalikan pelukan saya. 
   
      Tapi.....
     
     ......perjalanan ke Tengerang tidak kekurangan apapun dalam mengenalkan saya dengan pengalaman baru atau mengingatkan saya dengan kenangan lama. Tidak saja saya sempat singgah dan melihat airport yang saya kenal seperti teman lama, tapi juga sempat mendengar cerita baru dari teman perjalanan saya. Setiap cerita, menjadi selembar cerita di dalam buku kenangan saya. 
     Mengingatkan saya kebenaran perkataan : 

     " The Journey Is More Important Than The Destination." 

                                     





    
    

Saturday, March 12, 2016

Jalan Jalan ke Jakarta, part 2.

    Jalan Jalan ke Jakarta. Part 2.
        …..penerbangan dari Tokyo ke Jakarta. …..



    Teman duduk saya dalam penerbangan menuju Jakarta, seorang pria berkulit putih sebaya umurnya dengan saya. Dia duduk di aisle-seat, saya di window-seat. Dia sapa: hello, saya sapa: hello.  Dia baca buku. Saya baca buku. Dia makan. Saya makan. Dia tidur. Saya tidur. Kami seperti bayangan atau cermin dari satu sama lainnya.Begitulah perkenalan kami. Harmoni. 
     Delapan setengah jam lagi sebelum Jakarta.

    Tapi ketika saya ingin ke kamar kecil, dia tetap tidur. Saya sentuh dia beberapa kali, dia tidak bangun. Saya sentuh sambil  ahem…ahem…dia tidak bangun. Terpaksa saya  keluarkan Kung Fu dahsyat saya. Saya lemparkan sepatu saya ke aisle pesawat kemudian dengan hati hati lompati dia dengan sukses. Kesuksesan ini membuat saya merasa lebih muda, tepatnya menjadi anak kecil yang nakal . Sayangnya setelah saya selesai pakai kamar kecil dan kembali ke kursi saya, Kung Fu saya kehilangan dahsyatnya . Melompat kembali ke kursi yang sempit tanpa tempat untuk ber pegangan, sangat impossible. Lama juga saya  mondar mandir di aisles di tengah pesawat. Sampai akhirnya ada turbulent, seat-belt lampu dinyalakan. Pramugari melotot ke arah saya. Saya terpaksa bangunin dia. 

    Waktu dia buka mata dan melihat saya yang lagi berdiri di luar kursi kami, dia bingung…kok?

    “Saya lompatin kamu tadi. Maaf,” saya jelaskan. 
    “Lain kali bangunkan saya. Nggak apa apa kok,”katanya. 
    Saya bilang,”Ok.” Tapi dalam hati ngumpet:  kalau kamu gampang dibangunin saya tidak perlu loncat tadi itu. 

     Dia keluar dari kursinya memberi ruangan untuk saya masuk ke kursi saya. Saat itu tiba tiba pesawat bergelojak menerima pengaruh turbulent. Dia kehilangan keseimbangan, badannya menabrak badan saya. Obsession by Calvin Klein, memenuhi hidung saya. BBku seperti got yang macet seminggu. BB dia segar seperti orang mau ke pesta. Tidak harmoni.
     Dua jam lagi sebelum Jakarta.

    “Maaf…”giliran dia yang minta maaf.
    “Nggak apa apa,” jawab saya. Dengan tergesa saya duduk di kursi saya dan pasang seatbelt.

     “Turbulentnya lumayan,” kata dia beberapa menit kemudian ketika pesawat tergoncang lagi. 
     “Yah, lumayan,” saya jawab dengan sopan.
     “Tadi ketiduran. Turbulent nggak terasa, sudah lama...?”
     “Nggak. Tapi kalau lagi di plototin mbak pramugari, rasanya tahunan.”
     Dia tertawa menunjukan gigi sehat yang putih rapi ,seperti tembok putih sebuah benteng.  Saya tertawa juga. Harmoni kembali.
     “Biasanya staff Asian airline lebih ramah daripada yang American,” katanya.
     “Betul. Hm…sering ke Asia?” saya basa basi.
     “Asia, dua kali setahun. Tapi ini kunjungan ketiga ke Indonesia. Terakhir kali tiga tahun yang lalu.” 
     “Menikmati Indonesia?”
     Dia menggeleng.” Belum pernah kemana-mana. Hanya conference di Jakarta, lantas balik ke U.S.”
     “Sayang,” saya bilang. 
     “Business. No pleasure,”dia ketawa kecil,”Tapi kali ini rasanya saya akan punya waktu mengunjungi Jogjakarta. Dari buku yg saya baca, kelihatannya menarik. Penuh sejarah.” 
     Saya lirik buku yang dia baca tadi dan sekarang terbengkalai di kursi kosong diantara kursi kami. ‘PRAMBANAN’ judulnya.
     "Pernah ke sana?” 
     Saya menganggukkan kepala. “Waktu masih muda. Beberapa kali.”
     “Tempat menarik?” 
     “Lumayan. Lebih menarik jika ada Lara Croft.” 
     Dia menaikkan alis mata, “Lara Croft, The Tomb Raider? The game, Angelina Jolie?” 
     Saya anggukan kepala.
     Dia ketawa kecil. “Rasanya waktu itu, Lara Croft belum di inventasi.” 
     “Oh, terimaksih untuk mengingatkan ‘ketuaan’ saya,” saya bergurau setengah ketawa.
     Dia ikut tertawa, sekali lagi saya melihat giginya yang sehat, putih dan rapi. Membuat gigi saya seperti kuningan rasanya. Tidak harmoni. 
    “No, problem," ucapnya mengembalikan gurauan saya.

    Selanjutnya percakapan kami berkisar antara film, tempat yang pernah kiami kunjungi , buku yang kami baca serta pengarangnya. Pramugari datang dan pergi dengan snacks dan minuman. Sebentar  lagi pesawat akan melandas di Jakarta.

    Dua hari telah lewat sejak saya mandi terakhir. BB saya cukup membuat tikus  tergeletak pingsan.. Rambut saya rasanya lebih lengket ke kepala saya daripada manisan karet di jalanan lengket ke bawah sepatu. Tapi dia kelihatan fresh. Rambutnya yang berwarna strawberry blonde, walaupun tipis, kelihatan bersih. Mata abu-abu birunya masih jernih, tidak bengkak kemerahan seperti mata saya. Tidak harmoni.
   Tapi percakapan kami cocok sekali. Harmoni. 

   Ketika pesawat melandas, percakapan kami juga tiba tiba melandas karena dia baru ingat dia belum punya embankment card jadi dia sibuk cari pramugari. Saya sendiri bergegas  keluar dari pesawat kemudian secepatnya mencari kamar kecil untuk menghindari antrian panjang. 

    Setelah selesai dengan kamar kecil saya jbaru sadar embankment card di tas saya belum lengkap.  Saya berhenti di kios informasi yang kosong. Meminjam mejanya untuk tempat menulis, melengkapi beberapa pertanyaan terakhir. 

    “Hi,” dia sapa dari belakang saya, “Ketemu lagi. Boleh numpang?” tanyanya tersenyum. 
    “Tentu saja. Silahkan.”saya geser kertas dan tas saya, membuka cukup tempat kosong di atas meja untuk dia menulis.

    Dia mulai sibuk melengkapi embankment cardnya. Tulisan rapi, tangan dan kuku bersih terawat. Tulisan saya, cakar  ayam.Tangan dan kuku saya seperti kulit kayu. Tidak harmoni. 

    Begitu saya selesai melengkapi embankment card, saya mengucapkan goodbye, kemudian berjalan ke arah imigrasi. Setelah beberapa langkah, saya dengar dia memanggil saya…

    “Wait….what’s your name?” 

     Saya rasa saya akan ingat moment yang kami share di pesawat itu lumayan lama, mungkin seumur hidup, karena kapan lagi saya, sebagai wanita setengah umur, akan bisa dan cukup kuat melompati penumpang lain di dalam penerbangan?  Percakapan ringan kami tentang film, buku, travel places, juga sempat membuat saya merasa lebih muda dan care-free, tapi.....   
     Waktu dan tempat, menciptakan moments. Kadang moments berlanjur seumur hidup. Kadang moments hanya satu moment saja. 
     Moments kami seperti moment yang terakhir. Moment kami berakhir bersamaan dengan berakhinya penerbangan.  

    Tanpa membalikkan badan, saya melambaikan tangan perpisahan ke arahnya dan melanjutkan langkah saya ke imigrasi. 
    
      ........Jakarta menantikanku.......



Monday, March 7, 2016

Membuat Saur.


Saur adalah kelapa parut yang diberi bumbu kemudian di tumis dengan sedikit minyak sampai garing. Saur biasanya disajikan sebagai sambal tambahan untuk nasi kuning atau ketupat entil. Kadang  saur juga di sajikan bersama nasi campur bungkus. Seperti nasi Jinngo yang terkenal di pulau Bali. 

Kita bisa temukan kelapa parut di frozen-food section di local Asian market dengan harga kira-kira $3 sebungkus. Defrost kelapa parut ini dengan mendiamkan di ruang temperature selama 1 jam atau microwave 45 detik. Kemudian kelapa parut dipisah-pisahkan satu sama lainnya. 


Bumbu yang saya pakai sangat sederhana. Lombok merah (yang pedas atau red bell pepper) dan  sedikit cuka di blender dengan Magic bullet machine. Tumis bumbu ini bersama sedikit gula pasir dan beberapa daun jeruk nipis ( kafir lime leafs). Kalau tidak ada daun jeruk, kulit lime juga boleh dipakai (hilangkan semua bagian putih, pakai yang bagian hijau saja). Atau kita bisa ganti dengan sebatang  serai yang dimemarkan, 

Bumbu di tumis 30 detik, di atas api sedang, sampai daun jeruk mengeluarkan aroma yang harum. Masukkan kelapa parut. Aduk. Tambahkan sedikit garam. Turunkan api. Terus aduk-aduk lagi sampai saur matang dan kering. Kira-kira 35 menit an. Perlu diingat ketika kelapa parut masih lumayan basah, saur tidak perlu sering diaduk. Tapi begitu kelapa mulai sedikit kering, ( foto yang di tengah) saur harus diaduk-aduk sampai selesai. Kalau tidak, bagian saur yang menyentuh wajan cepat gosong. 


Saur harus benar-benar kering untuk bisa tahan lama simpan di temperature suhu ruang. Jika anda merasa ragu dengan level kekeringan saur yang anda buat, sebaiknya simpan saur di dalam kulkas.  

Selamat mencoba dan menikmati. 

Membuat Ketupat Entil.



Ketupat entil adalah ketupat tipis yang dibungkus dengan daun bambu. 

Langkah pertama yang kita ambil untuk membuat ketupat ini adalah membeli daun bambu di local Asian market. Biasanya 1 bungkus daun bambu berisi 2 pack, dengan harga sekitar $3. Kita juga perlu beli tali pengikat. Bisa pakai tali rumput Jepang yang juga dijual di Asian market atau pakai kitchen twine/ meat twine yang dijual di supermarket umum. 

Daun bambu kering tsb kita harus rebus dahulu, sebelum kita bisa gunakan sebagai pembungkus ketupat. Rebus daun bambu sampai ganti warna ke hijau gelap. Kemudian daun bambu dibersihkan dengan paper towel. Karena daun bambu banyak "rambutnya" yang bisa melukai tangan kita, sebaiknya dalam process ini dan langkah selanjutnya kita pakai kaus tangan plastic. Kemudian kita potong kedua ujung daun bambu. Sekarang daun bambu siap dipakai. 

Foto di atas menunjukan perbedaan warna antara daun bambu yang masih kering (hijau muda) dengan daun bambu yang sudah direbus (hijau tua).



Untuk isi ketupat, kita rebus beras di pengorengan dengan air perbandingan 1:1,  sampai beras menjadi nasi setengah matang. 


Ambil 2 daun bambu. Letakkan berdampingan dengan setengah bagian bertumpuk di atas satu sama lainnya.  Menciptakan daun bambu yang lebar. Isi nasi setengah matang secukupnya, kira-kira 2 sendok makan. Ambil kedua pinggiran daun bambu, lipat ke atas nasi sehingga nasi terlindung di bawah daun. Kemudian lipat masing-masing ujung daun bambu, sehingga bungkusan sekarang menyerupai kotak setipis 1 cm. Sampingkan. 


Ulang process di atas sampai semua nasi terbungkus. Gabungkan 2 bungkusan nasi daun bambu ini. Ikat dengan tali. Rebus ketupat selama 1/2 jam. Tiriskan dengan baik. Ketupat entil siap dimakan ketika ketupat tidak begitu panas ketika dipegang dengan tangan telanjang. 


Selamat menikmati. 

Note : Jika kesulitan membuat ketupat dibungkus plastic, ranking 1, membuat ketupat entil bisa dikategorikan ranking 4.

Sunday, March 6, 2016

Hari Raya Nyepi.

Hari Nyepi.


Jaman dulu, waktu saya masih kecil, hari raya Nyepi adalah salah satu hari raya yang saya tidak sabar tunggu kedatangannya. Bukan karena saya akan mendapatkan hadiah atau baju baru pada hari ini tapi, karena pada hari Nyepi, semua jalan di pulau Bali, tempat saya tinggal,  bebas dari kendaraan ; truck, mobil atau sepeda motor.  

Hari raya Nyepi adalah hari Tahun Baru untuk agama Hindu di pulau Bali. Pada hari Nyepi, umat Hindu harus me-Nyepi : tidak bekerja, tidak menyatakan lampu atau api dan tidak mengendarai kendaraan. Untuk penduduk pulau Bali yang tinggal di desa kecil yang sepi, hari raya Nyepi mungkin tidak mempunyai banyak perbedaan dengan hari lainnya. Tapi untuk penduduk yang hidup di tengah kota, seperti keluarga saya, dimana setiap hari dan tiap saat banyak kendaraan yang simpang siur,  hari raya Nyepi benar-benar menjadi hari raya yang istemewa. 

Pada hari raya Nyepi, begitu saya diberi ijin untuk main keluar rumah, kegiatan pertama yang saya lakukan adalah menyebrang jalan ke tetangga di depan rumah. Merasa bangga bisa menyebrang jalan tanpa dibantu oleh orang dewasa sekaligus tidak perlu kwatir ditabrak oleh kendaraan apapun. Sejenak saya berdiri di tengah jalan, menarik nafas panjang,  menikmati kebebasan sebagai penguasa jalan. Mengambil posisi seperti cowboy di film, dengan gerakan hebat menembak ke kanan dan ke kiri, seolah olah semua kendaraan adalah musuh yang saya berhasil lenyapkan.  Bang!... Bang!

Dengan jalan yang bebas dari kendaraan, tentu saja banyak orang tua atau muda yang juga turun bermain di jalanan. Ada yang berlomba lari, ada yang main lompat tali, ada yang main sepak bola, ada yang main kasti, ada yang main dengkleng atau berlomba membuat lukisan di permukaan aspal dengan kapur warna warni.

 Ketika matahari bersinar lumayan panas, kita mencari perlindungan di bawah bayangan pohon atau rumah dan duduk mengobrol atau bermain cengklak, kelereng atau peris. Setelah itu kita pulang ke rumah masing-masing untuk menikmati makan siang yang umumnya berupa; ketupat entil (ketupat tipis yang dibungkus daun bambu), saur (kelapa  parut yang diberi bumbu kemudian dimasak sampai renyah), telor asin dan kacang kapri. Dengan larangan untuk menyalakan api, semua  makanan tersebut dimasak sehari sebelumnya. 




Di senja hari, ketika sinar matahari tidak begitu panas lagi, anak-anak kecil sekali lagi mendapat kesempatan bermain di jalanan sampai cuaca mulai agak gelap. Ketika cuaca mulai remang-remang kita harus kembali ke rumah dan  hanya diijinkan untuk duduk di depan rumah menonton para remaja yang mengambil kesempatan untuk mencari pasangan atau berpacaran. Menonton para remaja itu, saya sempat berpikir betapa enaknya jadi anak remaja waktu hari Nyepi. Pacaran tanpa perlu pergi jauh dari rumah, karena dimanapun sama saja gelapnya. Tapi ketika saya meninjak usia remaja, peraturan  untuk merayakan hari raya Nyepi dirubah. Tidak hanya kendaraan yang dilarang berjalan di jalan, pendudukpun tidak diijinkan  berjalan di jalan atau keluar dari rumah. Sejak itu, hari raya Nyepi di Bali benar-benar me-Nyepi. 

Note: Hari Raya Nyepi untuk tahun 2016, jatuh pada tanggal 9 Maret.