Sunday, October 30, 2016

Setangkai Daun yang Gugur part 23

Daun Gugur 23.
Elius.

Dari menjelaskan keindahan  kota kecil South Haven, Elius menemukan dirinya bercerita tentang pengalaman lucu yang ia temui ketika pertama kali mengunjungi kota kecil itu.
        Setelah beberapa bulan di U.S., akhirnya Elius mendapatkan hari libur di akhir bulan October. Selalu mendengar tentang keindahan Danau Michigan, ia memutuskan untuk camping di sana. Kebetulan tempat camping yang ia pilih di pinggir kota South Haven.
      Sedang asyiknya menikmati alam dan memandang bayangan bulan yang menari di atas air, Elius mendengar suara berisik datang dari semak-semak di belakangnya. Ia menoleh, melewati kegelapan di seklilingnya, Elius melihat sesuatu yang kelihatan seperti….rambut coklat, kemudian sepasang mata hitam yang ganas, kemudian hidung besar, taring panjang dan seluruh badan kecoklatan yang dengan perlahan merangkak ke arahnya….. Singa!!!!
       Whoosh….!
       Elius bangkit dari posisi duduk dekat tenda dan dengan kecepatan mengimbangi superman, lari secepatnya ke arah danau. Singa takut air.
     Sang singa tentu saja mengejar.
     Elius menambah kecepatan kakinya lari ke danau….sepuluh meters, tujuh meter, empat meter, satu meter lagi…..
     “Hey….wait!” Sang singa berteriak.
    What?
     Telapak kaki Elius yang menyentuh air danau yang lebih dingin dari air es merasa lega ketika Elius menariknya kembali ke atas pasir yang walaupun dingin tapi kering.
    “What did you do that for?” Sang singga bertanya. Nafasnya ngos-ngosan.
    “Did what?”
    “Going to the water. You know, it’s cold enough to kill you within minutes.”
    “I….I…..” Elius menggaruk-garuk kepala. Tidak mau kelihatan seperti idiot lari dari orang yang pakai costume singa….tapi…. Elius tidak punya penjelasan lain. “I thought you were a…lion?”
     “A lion?”
      Sang singa tertawa….
     Melina tertawa…..
    Elius mengankat bahu lebih menikmati mendengar suara tawa Melina daripada mengikutinya tertawa,
     “Singa di Michigan?” Tanya Melina mencoba untuk berhenti tertawa,
     “Kemungkinan….”
     “Singa kaki empat…no..no…. Singa kaki dua…yes..yes…” Melina dengan bebas tertawa lagi.
   


Setangkai Daun yang Gugur. Part 22.

Daun Gugur 22.
Melina.

       “Pernah ke South Haven?” Eli bertanya.
        Melina menggelengkan kepala. Suami Melina bukan type orang yang membuang waktu menjadi tourist apalagi tourist ke kota kecil seperti South Haven.
       “Kalau ada waktu singgah di sana lumayan bagus…Light house, pantai, danau, …”
     Kemudian Eli menjelaskan keindahan kota kecil yang bernama South Haven di pinggir timur Danau Michigan.
     Menjelaskan ke Melina air danau yang cukup bening untuk sinar matahari menerangi dasar danau walaupun terbenam  lima meter dari permukaan air.
    Menjelaskan keindahan pemandangan light house, Boardwalk dan pemandangan sunset di atas Danau Michigan.
    Menjelaskan betapa luasnya Danau Michigan, sampai Eli kadang lupa bahwa yang ia lihat dari pantai adalah sebuah danau dan bukan samudra.
    Melina mendengarkan penjelasan Eli. Menikmati suaranya yang berat bercampur keserakan dari tenggorokan yang sering mengisap asap rokok.
    Oma Melina pernah memberi Melina pesan untuk menjauhi seorang perokok. Seorang perokok bisa kecanduan merokok yang lebih bahaya dari kretek, seperti apa yang terjadi pada Opa. Kecanduan yang menghabiskan keuangan keluarga dan menamatkan kehidupan. Hindari seorang perokok sejauhnya, pesan Oma.
    Tapi bagaimanakah Melina mampu menjauhi Eli, jika suara Eli seperti suara ombak membelai pantai, mengundang dan memberi harapan kepada penumpang perahu yang bertahun tahun tidak pernah melihat daratan?
Setangkai Daun yang Gugur 21.

Elius.

     “Tinggal dekat sini?” Elius bertanya. Sekali lagi ingin membuka percakapan.

      “Nggak. Tinggal di Northville.”

      “Jauh…untuk laundry.”

      Melina tersenyum.” Itu untuk mertua. Dia tinggal dekat sini.”

     Mertua….suami….

     Elius menggelengkan kepala, mengusir perasaan tidak nyaman. “Karpetnya baru….kok dicuci?”

     Melina tertawa kecil. “Iya.... Kata mertua, karpet itu kan diinjak-injak pembeli yang lain. Cuci dulu sebelum dibawa pulang.”

    Ketika Elius mendengar tawa kecil Melina yang ringan dan polos, untuk sesaat Elius merasa jiwanya terbang meninggalkan tubuhnya, melayang ke suatu tempat yang jauh dan lama.
    Tempat yang ia kenal tapi tidak ingat.

   “Eli, tinggal dekat sini?” Pertanyaan Melina membawa jiwa Elius kembali ke tubuhnya.

    Elius tersenyum sebelum menjawab,”Trailer di South Haven. Tapi kebanyakan hidup di truck.”

   “A trucker?”

   Elius mengangguk.

   “Long distance?”

    Sekali lagi Elius menganggukkan kepala.

    “Sangat menarik. Selalu kepingin menjelajah negara sebagai trucker.”

    Elius tersenyum,” Setelah beberapa tahun tidak begitu menarik lagi. A trucker seperti pengembara, jarang bisa tinggal di tempat yang sama dalam waktu yang panjang.”

  “Pengembara …..punya rumah di South Haven,” Melina   tersenyum,” Sedikit ke utara…..Heaven.”

   Elius tersenyum. Seluruh tubuhnya tersenyum. Sekali lagi jiwanya melayang ke tempat yang jauh dan lama….mengingat wanita yang sering membuat seluruh tubuhnya tersenyum….

   Dimana dan kapan….?

Sunday, October 16, 2016

Daun Gugur 20.

Melina.

“Kopinya, ok?” Eli bertanya. 
       Melina mau menjawab, ‘Sedikit cream dan gula, akan lebih enak.’ Tapi Eli bukan type ‘cream dan gula’. Kopi Eli tanpa tambahan, seperti orangnya: tidak bertele-tele. 
      Eli masukan bathroom karpet ke mesin cuci, menambahi sabun, membeli coin untuk menjalankan mesin. Kemudian Eli mengambil laundrynya dari mesin pengering, membawa laundry ke truck, kembali ke laundromat dengan sebungkus es, untuk di taruh di atas benjolan di dahi Melina, menyarankan untuk Melina duduk di kursi plastic, balik lagi ke trucknya, kembali dengan dua cangkir kopi. Semua Eli lakukan dengan efficient dan tanpa embel-embel. 
      “Kopinya, ok. Terimakasih.” 
      Melina meniup kopi pekat dan agak pahit dengan pelan sambil mengingatkan dirinya untuk menikmati kopi buatan Eli. Melina tidak ingat kapan ada orang lain, selain pegawai cafĂ©, membuatkan dia kopi. Suami Melina tidak pernah membuat kopi , atau mengerjakan laundry dan pekerjaan rumah tangga yang lainnya. Berbeda dengan Eli. 
      

Thursday, October 13, 2016

Setangkai Daun yang Gugur. Part 19.


Elius.

Bathroom carpet berputar di mesin cuci. Cucian Elius telah selesai dan menunggu untuk dilipat di dalam truck cab. Elius dan Melina duduk di kursi plastic di pojok laundromat. Sebungkus es dari kulkas di truck Elius menempel di atas dahi Melina. Dua cangkir kopi yang Elius baru rebus duduk di atas meja plastic yang memisahkan kursi mereka. 
     Ratusan pertanyaan yang menginginkan jawaban dari Melina  menbanjiri benak Elius. Tapi ratusan jawaban juga dari Melina yang Elius tidak ingin tahu. Seperti kehadiran cincin bermata berlian empat karat berdampingan dengan cincin platinum polos yang melingkari jari Melina. Elius terus terang tidak mau tahu jawabannya. 
       Tapi….kehadiran satu suami atau sepuluh atau seratus di samping Melina  apakah akan mampu merubah apa yang Elius  rasakan terhadap Melina? 
     
     “Kopinya, ok?” Elius memilih pertanyaan enteng. 
    

Saturday, October 8, 2016

Setangkai Daun yang Gugur. Part 18.


Melina.

“You, okay?”tanya Eli. Sekali lagi mereka berhadapan. Tangan Melina berada di dalam genggaman Eli.
     Melina mengangguk, “Kenal mereka?” 
     Eli menggelengkan kepala. “Hanya melihat mereka ketiga kalinya di sini.” 
     “Gang atau….?” 
     Eli tersenyum, menggelengkan kepala. “Anak muda tanpa kerjaan. Oh..ya… “ Eli meraih cincin Melina dari kantongnya. “Sorry about this.” Dan dengan begitu saja, Eli memasukkan kedua cincin ke jari Melina. Mengingatkan Melina ketika suaminya  memasukkan kedua cincin tersebut dua puluh tahun yang lalu. 
      Sejenak, Melina ingat posisinya sebagai istri lelaki lain dan harus menjauhi Eli. Tapi pemandangan tangan Eli memasukkan cincin ke jari Melina kelihatan sangat natural, Melina tidak sanggup menarik tangannya. Lagipula sentuhan Eli membawa kedamaian yang Melina tidak pernah alami sebelumnya. Melina menatap wajah Eli, tidak cakep, tidak ganteng, tapi…..
      …….pandangan mata mereka bertemu. Coklat pekat mata Eli menatap Melina seolah ia menginginkan sesuatu….a kiss?
      Tapi……
      Eli begitu saja melepaskan tangan Melina, melangkah ke arah bathroom karpet yang berhamburan di atas mesin cuci dan lantai. Tanpa mengucapkan apapun ia melanjutkan merobek merek dari karpet dan masukkan mereka ke tiga mesin cuci besar.
      Sekali ini Melina tidak protest.

Friday, October 7, 2016

Setangkai Daun yang Gugur. Part 17.


Ferona. 

 Aku turun dari mobil. Berjalan ke arah bagasi. Membuka bagasi kemudian mulai meraih tas-tas kantong laundry. Tapi suara gaduh dari arah laundromat mengambil perhatianku. 
    Aku memundurkan badan sehingga lebih jelas melihat apa atau siapa yang membuat suara gaduh. 
    Empat lelaki muda berkulit gelap berpakaian kaos hitam dan celana yang menyantol dari pinggul mereka, berjalan ke arah laundromat dengan sikap yang menunjukkan keinginan untuk menguasai dunia dengan cara apapun. 
    Tanpa pikir panjang, aku tutup pintu bagasi mobil, kemudian secepatnya kembali memasuki mobilku. Semurah atau sebersih apapun ini laundromat, tidak ada untungnya kalau diganggu oleh orang brandalan seperti group anak muda yang memasuki laundromat.
    Aku mundurkan mobil dan secepatnya keluar dari plaza seperti ayam gemuk diburu koki ahli yang doyan masak ayam

Thursday, October 6, 2016

Setangkai Daun yang Gugur. Part 16



“Yo, what’s up!” Melina mendengar suara yang berat berlogat   special datang dari  belakangnya. 
     “What’s up!” Jawab Eli disusul oleh fist-bump antara Eli  dan lelaki berkulit gelap yang menyapa mereka.
     Sementara itu Eli telah memutar dan memposisikan badan Melina di belakang badannya sekalian dengan keahlian tukang copet, Eli melepaskan dua cincin yang menghuni jari Melina dan mengantonginya di kantong belakang jeansnya. 
      
     “Laundry day?” 
     Eli mengangkat bahu.
      Pandangan lelaki berkulit coklat hitam di arahkan ke Melina. Tiga pengikutnya juga memandang Melina seolah Melina barang pajangan. “New?” 
     Lelaki pemimpin group kecil itu, tidak kelihatan begitu brandalan. Dua pengikut di sampingnya kelihatan kekanakan. Tapi pengikut yang berdiri di belakang pemimpin mempunyai sorot mata tajam dan kasar,  cukup membuat bulu lengan Melina merinding.
     Sekali lagi Eli mengangkat bahu. 
     Lelaki pemimpin group tertawa. Dua pengikutnya tertawa.  Mata tajam dan kasar, tidak berreaksi.. 
     “Any smoke?”
     Tanpa menjawab Eli meraih sebungkus rokok dari kantong jeans.. 
     “Don't want it back.”kata Eli.
     “Thanks , man.”
      Fist-bump.
     “Stay cool.” 
     “Stay cool,” jawab Eli. 
     Group  itu berbalik, berjalan ke pintu keluar, meraih dan menendang keranjang cucian laundromat yang mereka lewati.
     “Hey," Suara Eli tidak jkeras tapi cukup kuat mengambil perhatian mereka.
     Sang pemimpin membalikkan badan, memberi tanda salut, sebelum keluar dari laundromat.
     
     
     

Tuesday, October 4, 2016

Setangkai Daun yang Gugur. Part 15.


Melina.

Wajah Eli tidak bisa dikatakan wajah yang tampan.
     
    Dari mata yang berwarna coklat pekat tidak lebar atau sipit, hidung yang walaupun lurus tapi tidak mancung, bibir yang kehitaman tidak tipis atau tebal dan terbaring agak miring di atas wajah kulit coklat tua, semuanya tidak ada yang istimewa. 
     Badan Eli  walaupun lebih tinggi dari kebanyakan orang, agak kurus untuk memasuki katagori ganteng. 
    Lalu apa yang menarik Melina sampai ia merasa kehilangan ketika sentuhan mereka terputus? 
    
     Apakah senyum Eli? Yang seperti matahari terbit pada akhir malam yang dingin , mili demi mili menghangati seluruh tubuh Melina? 
      Atau mata Eli ketika pandangan mereka bertemu? Yang seperti pelabuhan teduh dan penuh perlindungan buat perahu di hati Melina yang selama ini tanpa Melina  sadari terombang ambing tanpa tujuan di lautan yang tanpa batas? 
     Melina tidak bisa menjawab dengan jelas.
      
    Yang jelas, daya tarik Eli ke seluruh badan dan nurani Melina melebihi daya tarik matahari ke sembilan planet di Tata Surya. 
      Yang jelas, sebagai istri lelaki lain, Melina harus menjauhi Eli.
     
    Melina melangkah mundur, tapi Eli telah melangkah maju dan tanpa rasa sungkan menarik Melina kepelukannya. 
     Melina ingin menolak tetapi……..

Sunday, October 2, 2016

Setangkai Daun yang Gugur. Part 14.



Elius. 

Elius mengingatkan dirinya, ia dan Melina hanya dua orang yang baru kenal. Tidak ada salahnya untuk Melina melepaskan jabatan tangan dengan begitu saja. Elius seharusnya tidak merasa kehilangan saat tangan kontak mereka berakhir. Tapi perasaan Elius tidak mau bercooperate. 
     Seluruh tubuhnya terasa tertarik ke arah Melina, seolah-olah Melina terbuat dari jutaan magnet dan setiap titik darah Elius seperti butiran pasir yang rindu menempel ke magnet itu. 

    Elius menarik nafas panjang. Mencoba mengontrol keinginan  untuk menyentuh Melina. Sekaligus mengontrol kekecewaan yang menbanjiri hatinya karena kelihatannya Melina merasakan effect yang berlawanan dari apa yang Elius rasakan. 
     Setelah melepaskan tangan kontak, Melina menggerakkan badannya beberapa centi menjauhi Elius. Ia berdiri dengan dua lengan bersilang di depan badannya, posisi melindungi dirinya dari Elius. Melina menggigit bibirnya bawahnya, kelihatan agak  bingung dan kwatir…..

    “Dari Indonesia?” Pertanyaan yang Elius harap bisa membuat Melina lebih nyaman dengan situasi mereka. 
    
    Melina menatapnya, lengan bersilang di badannya kelihatan lebih relax. “Iya.”
    “Bisa bahasa Indonesia?”