Melina.
Laundromat.
Melina memandang dua tangan yang berjabatan. Satu kulit coklat , tangan Eli, yang satunya lagi kulit agak putih, tangan Melina. Dua warna berbeda tapi kelihatan serasi, seserasi perasaan hati Melina.
Eli tadi bertanya, kalau ia ingat perjumpaan mereka. Bagaimanakah Melina mampu melupakan perjumpaan mereka? Jika setiap ia memejamkan mata, wajah Eli terpajang di depannya? Jika sentuhan tangan Eli kemarin hari, walaupun hanya beberapa detik, sudah cukup membuat Melina merindukan sentuhan itu lagi?
Pandangan Melina sekali lagi jatuh ke tangan mereka yang berangkai seolah dua warna menjadi satu. Seperti warna bendera Indonesia ; merah, putih, berani dan suci. Tangan Eli yang besar dan sedikit kasar dari kerja berat, sepadan untuk melambangkan keberaniaan. Tapi kesucian? Apakah ada kesucian dalam seorang istri yang merindukan untuk bersama lelaki yang bukan suaminya sendiri?
Melina dengan tergesa melepaskan kontak tangan dengan Elius, seolah ia melepaskan sesuatu yang perlu di campakkan.
“Are you, okay?”
“Yah….” Melina menggelengkan kemudian menganggukkan kepala.
Tidak okay, karena merasa kehilangan ketika kontak tangan mereka terputus. Okay, karena itu hal yang seharusnya, sewajibnya, dilakukan oleh seorang istri yang setia. Tapi apakah kesetiaan terhadap suami cukup untuk menjauhi Eli, yang punya kekuatan seperti sejuta magnet menarik Melina lahir maupun batin?