Friday, September 30, 2016

Setangkai Daun yang Gugur. Part 13.


Melina. 
Laundromat.

Melina memandang dua tangan yang berjabatan. Satu kulit coklat , tangan Eli, yang satunya  lagi kulit agak putih, tangan Melina. Dua warna berbeda tapi kelihatan serasi, seserasi perasaan hati Melina. 
     Eli tadi bertanya, kalau ia ingat perjumpaan mereka. Bagaimanakah Melina mampu melupakan perjumpaan mereka? Jika setiap ia memejamkan mata, wajah Eli terpajang di depannya? Jika sentuhan tangan Eli kemarin hari, walaupun hanya beberapa detik, sudah cukup membuat Melina  merindukan sentuhan itu lagi?
     Pandangan Melina sekali lagi jatuh ke tangan mereka yang berangkai seolah dua warna menjadi satu. Seperti warna bendera Indonesia ; merah, putih, berani dan suci. Tangan Eli yang besar dan sedikit kasar dari kerja berat,  sepadan untuk melambangkan keberaniaan. Tapi kesucian? Apakah ada kesucian dalam seorang istri yang merindukan untuk bersama  lelaki yang bukan suaminya  sendiri? 
     Melina dengan tergesa melepaskan kontak tangan dengan Elius, seolah ia melepaskan sesuatu yang perlu di campakkan.
     “Are you, okay?”
     “Yah….” Melina menggelengkan kemudian menganggukkan kepala. 
     Tidak okay, karena merasa kehilangan ketika kontak tangan mereka terputus. Okay, karena itu hal yang seharusnya, sewajibnya, dilakukan oleh seorang istri yang setia. Tapi apakah kesetiaan terhadap suami cukup untuk menjauhi  Eli, yang punya kekuatan seperti sejuta magnet menarik Melina lahir maupun batin? 
     
    

Wednesday, September 28, 2016

Setangkai Daun yang Gugur. Part 12.



Ferona. 

Aku arahkan mobilku ke tempat parkir dekat laundromat. Menghindari lobang-lobang sebanyak mungkin, tapi mobil tetap terasa seperti perahu di goyang badai. Goyang ke kanan, goyang ke kiri.
      Sekelompok rumput kering menggelinding di depan mobilku. Membawa imaginasiku ke pemandangan kota terbengkelai di tengah gurun dari film cowboy. Mengungkit ingatanku ke pria dengan mata seperti pengembara yang kesepian dari potluck in the park….ah…seandainya aku bisa membuat mata itu tidak merasa kesepian tapi….tersenyum….
     Aku sampai di depan laundromat dan memilih tempat parkir di samping sebuah silver Lexus. Logikaku ; siapa yang akan merampok Honda jika Lexus dalam jangkaun? 
      
       

Tuesday, September 27, 2016

Setangkai Daun yang Gugur. Part 11.


Elius.

Wanita itu menggigit bibirnya, pipinya memerah…….
     Elius menunggu dengan detak jantung bergetar seperti jembatan Golden Gate di goyang taipoon. Kalau wanita itu tidak ingat perjumpaaan mereka…..
     Wanita itu berdesah, menggigit bibirnya sekali lagi….
     “I……remembered.” 

    Oh? Jembatan dan taipoon terlupakan, jantung Elius terbang seperti elang menyebrangi Grand Canyon. Ia ingat!!

     Elius menjulurkan tangan. “Eli.”
     Sejenak wanita itu hanya memandang tangan Elius, menjabat atau tidak?
    Wanita itu tersenyum kemudian menjulurkan  tangan dan menjabat tangan Elius. 
    Tangan sehalus belaian bunda di hati Elius. Elius merasa seperti elang terbang jungkir-balik menyebrangi Grand Canyon. 
     
     “Melina.” Wanita itu mengenalkan namanya. 

Monday, September 26, 2016

Setangkai Daun yang Gugur.part 10.


 Elius.

“Bad. Really bad. That bad, huh?” Wanita itu bertanya. 
     Elius hanya bisa mengangguk. Benjolan sebesar telur bebek itu memang benar- benar bad, tapi wanita itu tetap menarik, bahkan lebih menarik dari satu detik ke detik lainnya dalam pandangan Elius. 
     “I am really sorry…..” Apalagi yang Elius bisa katakan? “That’s got to be hurt like hell. I am sorry.”       
      Tiba- tiba wanita itu melepaskan tawa kecil. 
    “You’ve got one too.” 
    Moment berikutnya, Elius merasakan sentuhan tangan wanita itu pada benjolan di dahinya. 
    Hurt like hell, yes! Tapi.....
    ......... sentuhan tangan wanita itu juga mengirim Elius ke tanah yang bernama sorga.
    “Is it hurt?” Wanita itu menarik tangannya kembali. 
    Elius menggelengkan kepala. “A little. I have a hard head, you know.” Elius mengangkat karpet yang mereka sailing tarik, beberapa saat yang lalu.
    Wanita itu tersenyum. Elius juga tersenyum. 
     
    Beberapa detik, seabad di perasaan Elius, lewat diantara mereka. Elius menyandar pada satu mesin cuci, satu meter darinya, wanita itu juga menyandar pada satu mesin cuci yang lain. Satu meter yang selebar Grand Canyon dipandangan Elius.  Elius mengingat lagi sentuhan wanita itu. Ia harus menyebrangi Grand Canyon yang memisahkan mereka.  
     
    “Yesterday….” Elius berdesah, “We’d met….remember?”
     Wanita itu menggigit bibirnya, pipinya memerah…….
     



Friday, September 23, 2016

Setangkai Daun yang Gugur. Part 9.



Elius. 

“Sorry….sorry….” Elius kelabakkan meminta maaf.
      Walaupun Ia merasakan kepalanya seperti mau pecah, pandangan berkunang, perasaan perih tajam memukul sudut kanan dahinya, tapi hati Elius merasa lebih perih menyaksikan bagaimana wanita itu menggoyangkan kepalanya, mencoba mengusir kepeningan yang jelas ia juga  rasakan. Sementara telur bebek berwana merah muda mulai menjelma di sudut kiri dahi wanita itu. 
      “Sorry…sorry….” Elius minta maaf lagi. 

     Wanita itu tetap menggoyangkan kepalanya dan dengan pelan melepaskan pegangan tangan Elius kemudian bersandar ke mesin cuci terdekat.
     “I am truly sorry. I didn't  mean to hurt you….I….I….was….” What? Elius tidak bisa melanjutkan kata-katanya. 
      
     Tangan wanita itu meyentuh dahinya, menemukan benjolan telur bebek, tangan segera diangkat seperti menyentuh api. 
      Mata terpejam lagi. 
      
      “How bad is it?” Wanita itu bertanya dengan mata masih terpejam. 
      Jawab sejujurnya atau berbohong? 
      “Bad. Very bad. I am sorry….” Ratusan maaf rasanya tidak cukup. 
      
       Wanita itu dengan pelan membuka mata dan tatapannya di arahkan ke Elius. 
       Elius merasa wajahnya memerah, merasa bersalah, sungkan, tidak sepadan tapi juga rindu untuk menerima tatapan wanita itu serindu pengembara menantikan kemunculan bulan untuk menerangi dan menemani perjalanan  yang gelap dan terpencil. 
      

Setangkai Daun yang Gugur. Part 8.



Elius.
Moment berikutnya.

“What do you think you are doing?” Wanita tersebut bertanya dengan marah dan tanpa menunggu jawaban, mulai meraih karpet yang berada di tangan Elius. 

     ‘Apa yang saya lakukan? Hell, if I knew,’ pikir Elius. Tidak pernah dalam hidup empat puluh enam tahun, ia melakukan hal sekonyol dan tidak masuk akal seperti saat itu.
     " I want to help you,” ucap Elius. 
     Monolong? Menolong mencuci?  Mereka tidak kenal.
      Elius merasa semakin konyol. 
      “I don't need your help. Let go of my things.” Wanita itu sekali lagi menarik karpet yang berada di dalam genggaman Elius. 
     Elius dengan reflex menariknya kembali…..Mereka tarik menarik karpet…..

     Mata wanita itu melebar, bibirnya mengkerut, pipi kemerahan menahan marah. 
     Elius benar- benar merasa konyol dan sedikit crazy.
    
     Dengan keinginan untuk melindungi wanita itu,  Elius mengikutinya ke laundromat. Sekarang satu-satunya orang  yang membahayakan wanita itu adalah Elius sendiri, merampok karpetnya di siang bolong!!! 
      Apakah ada orang sekonyol Elius saat itu di dunia ini?

     Elius melepaskan genggaman dari karpet tapi  wanita itu masih menarik dengan kuat mengakibatkan wanita itu tersandung ke belakang. Elius dengan kecepatan kilat  meraih dan menarik wanita itu sebelum ia terjatuh. Semuanya terjadi begitu cepat, kepala mereka tabrakan seperti dua meteor di Galaxy. 


Wednesday, September 21, 2016

Setangkai Daun yang Gugur. Part 7.



Elius.
Di laundromat. 

Wanita itu terpaku di tempatnya. Elius terpaku di tempatnya. Keduanya tidak bergerak sejari pun. 
    Terpaku….
    ..........Seperti dua cowboy yang siap berduel. 
    Customer laundromat yang lain tidak ada yang peduli. 
    Beberapa menit berlalu, posisi mereka tidak berubah. Ratusan scenario  berterbangan di benak Elius…..
    Akhirnya……
   Elius berjalan melewati wanita tersebut. Dengan sisa coin yang berada di kantong jeansnya, Elius membeli tiga kotak sabun cuci. Membalikkan badan….berhadapan dengan wanita tersebut….,tanpa kata….,membungkuk dan  meraih tas-tas kantong …..kemudian mengangkatnya ke arah serangkaian mesin cuci besar di tengah-tengah laundromat. 
    Elius mulai membuka tas-tas tersebut, meraih  isinya….
   ‘F*** apa ini?’ 
    Di dalam tas-tas kantong, tergeletak dengan manisnya satu set bathroom karpet lengkap dengan merek dan ticket harga masih terjahit pada ujung karpet.
    ‘Karpet baru...…dicuci? ‘ Elius ngomel dalam hati. Tapi tangannya mulai menarik semua kertas merek dan ticket harga dengan kekuatan singa menarik daging dari tulang. 
    “Hey!” Wanita itu seperti terbangun dari mimpi, berteriak dan bergegas ke arah Elius. Wajahnya merah….marah!!
    Elius mengalihkan pandangan dari apa yang ia kerjakan ke wanita itu. Bukan wajah merah marah yang ia lihat, tapi wajah seorang yang ia cari seumur hidup dan kenal berabad-abad.
    

Sunday, September 11, 2016

Setangkai Daun yang Gugur. Part 6


 
Elius.
 Beberapa menit kemudian. 

Dengan tergesa, Elius mengganti  kaos yang ternoda kopi dengan kaos yang bersih.  
    Sementara  itu, wanita tersebut berjalan ke belakang Lexus. Membuka bagasi, menurunkan tiga tas besar dari bagasi, menutup bagasi, kemudian berjalan ke pintu depan laundromat.
    Tawa kecil lepas dari bibir Elius, melihat wanita tersebut melompat dari satu kaki ke kaki  lainnya di depan pintu laundromat, sebelum ia menyadari pintu laundromat bukan pintu yang terbuka dengan otomatis.
    Ketika Elius memasuki laundromat, ia menemukan wanita itu terpaku di depan vending machine yang menjual sabun cuci di bagian belakang laundromat. Tiga tas besar dari bagasi berada di sisinya. 
    ‘Pilih yang mana?’ Seolah-olah wanita itu terpesona dengan banyaknya pilihan sabun cuci.
    Elius juga terpaku di tempatnya. ‘Now, what?’ 
    Beberapa menit yang lalu, instict untuk melindungi,  mendorong Elius  untuk mengejar wanita tersebut. Tetapi….melihat wanita itu berada dalam keadaan selamat, Elius kehilangan motif, tidak tahu langkah berikutnya. Apalagi ia menyadari betapa ‘mahal’nya wanita tersebut ; tas, sepatu,  jeans dan kaos putihnya berharga jauh dari jangkauan gaji Elius.
      Sinar matahari sore yang menerobos dari jendela laundromat, membuat bayangan Elius memanjang dan menyentuh wanita tersebut. Membangunkan perasaan ngilu di hati Elius; kerinduan menyentuh wanita tersebut dengan tubuhnya sendiri bukan hanya oleh bayangan badannya.
     

Thursday, September 8, 2016

Setangkai Daun yang Gugur. Part 5.



Ferona.
Harry berikutnya.

Sekali lagi aku check GPS di iPhone-ku. Kelihatannya aku benar-benar telah sampai di tujuanku. Kata temanku, self-service  laundromat di plaza ini, mesin cucinya lebih bagus dari laundromat yang lain ; hasil cucian lebih bersih dan kering. Tapi….
     Aku memperhatikan plaza di depanku sekali lagi, sepi banget. Toko kebanyakan kosong daripada yang buka untuk business. Plaza kelihatan terbengkelai puluhan tahunan.  Apa plaza ini aman? 
     Melihat beberapa mobil dan semi-truck yang parkir di sekitar laundromat, aku akhirnya memutuskan ; setidak tidaknya laundromatnya  aman karena lumayan jumlah orang yang mengerjakan laundry di sana. Setidaknya aku harus coba ini laundromat sehingga perjalananku ke plaza ini tidak sia-sia. 
    Dengan pelan dan tetap waspada, aku  jalankan mobilku ke arah tempat parkir dekat self-service laundromat.
     

Tuesday, September 6, 2016

Setangkai Daun yang Gugur. Part 4.


Elius.
Hari berikutnya.

Elius sedang menikmati secangkir kopi sambil menonton action film siaran Netflix di dalam semi-truck cab yang ia parkir di samping self-service laundromat dimana cucian Elius berputar di dalam mesin pengering, ketika sebuah Lexus SUV 470  warna silver menggelinding ke tempat parkir plaza, meraih perhatian Elius. 
     Beberapa meter memasuki tempat parkir, Lexus tersebut tiba-tiba berhenti. Seolah pengemudinya tersesat dan  meragukan kebijaksanaan melanjutkan perjalanan ke plaza. Plaza yang sepi terbengkelai seperti tertidur di tengah gurun, dengan tempat parkir berlobang-lobang meniru  permukaan bulan, umumnya tidak aman specially untuk pemilik mobil  mewah.
    Sesaat kemudian, SUV tersebut melanjutkan perjalanan, menghindari lobang-lobang sebanyak mungkin.
   ‘Hm…?’ Elius merasa heran.
   Sinar matahari dan gelapnya jendela mobil,  menyebabkan   pengemudi Lexus tidak bisa kelihatan jelas. Tapi, ketika Lexus berhenti di depan self-service laundromat tidak jauh dari truck Elius, kemudian pengemudinya keluar dari SUV, cangkir di tangan Elius terbalik, menumpahkan kopi hangat ke blue- jeans dan kaos yang Elius pakai. 
    Wanita yang keluar dari SUV, wanita yang sama dari yang di park ; wanita yang wajahnya memenuhi pikiran dan semalaman  mengganggu tidur Elius.
    Sebelum Elius sempat memutuskan untuk bersumpah atau bersyukur melihat wanita itu lagi, jantungnya telah menari seperti joget mendengar gamelan idaman. 
    “F#*#,”sumpah Elius. 

     

Setangkai Daun yang Gugur. Part 3.

Ferona.
Duduk disamping dua wanita di bawah park pavilion.

Udara sore masih  lumayan panas. Keringat sebesar kelereng mengalir di punggungku. Angin yang bertiup melewati tempat dudukku di bawah park pavilion hanya memberi kesejukan sesaat saja. Pandanganku beralih ke tempat pria itu lagi. Ia  berdiri bersama beberapa pria lain yang sibuk berbincang di bawah kerindangan pohon tidak jauh dari tempat dudukku. 
      Kulit tanganku masih merasakan sentuhannya ketika tangan kita tabrakan mengambil sendok kare sapi dan seluruh tubuhku masih merasa hangat dari sentuhan badannya ketika kita semua tersandung kesatu sama lainnya waktu group kita menang perlombaan tarik  tali beberapa menit yang lalu. 
      Tatapan kami bertemu lagi. Satu senyum miring darinya  merekah untukku. Jantungku sekali lagi bergetar terbang. Terbang jauh ke angkasa seperti sepotong daun gugur ditiup badai.

Saturday, September 3, 2016

Setangkai Daun yg Gugur. Part 2.

Elius.
Menonton perlombaan tali tarik yang berlangsung. 

“Tarik…ayo…..Tarik…” teriak referee memberi semangat ke kedua group yang berlomba. Group pria sebelah kanan, group wanita sebelah kiri. Ini perlombaan keempat. Group pria menang tiga perlombaan sebelumnya.
     
      Dari bawah kerindangan pohon terdekat, tatapan Elius sekali lagi kembali ke wajah wanita nomor tiga dari pertengahan tali.
    “ Tariiiiiik……ayoooooo….” referee berteriak lagi.
    Wajah wanita itu mengkerut, tersenyum, tercampur jadi satu. Walaupun sudah kalah tiga kali dia masih menikmati perlombaan, tetap berharap bisa menang sekali ini.
Wajahnya menciut ketika tali mulai tertarik ke arah group pria, group wanita jelas akan kalah kalau tidak dibantu.
     
     Elius tanpa pikir lari kearah perlombaan. Mengambil posisi di belakang wanita tersebut. Tangan mencengkram dan menarik tali sekuat kuatnya. Boom!!! Tali tertarik ke arah mereka. Mereka menang.
      Tubuh wanita di depan Elius tersandung ke belakang, mendarat di dada Elius. Dengan reflex Elius menangkap bahu wanita tersebut. Mata mereka bertemu. 
      
     Wajah wanita tersebut mulus seperti boneka Jepang. Hidung munggil tapi tidak begitu mancung.  Mata tidak sipit, tidak lebar, tapi menatap Elius seolah mereka kenal beberapa abad. Jantung Elius bergetar seperti rumah reyot digoncang gempa. Tangan yang menyentuh bahu terbakar oleh keinginan untuk  memeluk wanita tersebut. Apa yang terjadi? 






Setangkai Daun yang Gugur. Part 1.

Ferona: “Awal pertemuan.”
Lokasi: Perayaan 17 Augustus, Indonesian potluck in the park. 

Piringku hampir penuh, tapi masih ada tempat untuk sepotong kare sapi dari panci di tengah meja. Ketika tanganku meraih  sendok untuk kare itu, tangan dia juga meraih sendok yang sama, akibatnya tangan kita tabrakan. 
     “Maaf…” kataku. 
     “Maaf…” kata dia dari seberang meja dengan senyum yang miring. 
     Mata kami bertemu. Aku menatap sepasang mata pengembara yang kesepian. Membuat jantungku berdetak gugup  seperti tali gitar kekencangan dipetik seniman tanpa pengalaman. 
    “Silahkan, anda dulu.”katanya. 
    Huh…uhh…..benakku tidak bisa berpikir. 
    Ia tersenyum lagi.
    Moment berikutnya, satu potong kare sapi yang empuk mendarat di piringku. 
     “Cukup?”tanyanya. 
     Aku hanya bisa mengangguk….pikiranku lepas landas entah kemana.