Friday, September 23, 2016

Setangkai Daun yang Gugur. Part 9.



Elius. 

“Sorry….sorry….” Elius kelabakkan meminta maaf.
      Walaupun Ia merasakan kepalanya seperti mau pecah, pandangan berkunang, perasaan perih tajam memukul sudut kanan dahinya, tapi hati Elius merasa lebih perih menyaksikan bagaimana wanita itu menggoyangkan kepalanya, mencoba mengusir kepeningan yang jelas ia juga  rasakan. Sementara telur bebek berwana merah muda mulai menjelma di sudut kiri dahi wanita itu. 
      “Sorry…sorry….” Elius minta maaf lagi. 

     Wanita itu tetap menggoyangkan kepalanya dan dengan pelan melepaskan pegangan tangan Elius kemudian bersandar ke mesin cuci terdekat.
     “I am truly sorry. I didn't  mean to hurt you….I….I….was….” What? Elius tidak bisa melanjutkan kata-katanya. 
      
     Tangan wanita itu meyentuh dahinya, menemukan benjolan telur bebek, tangan segera diangkat seperti menyentuh api. 
      Mata terpejam lagi. 
      
      “How bad is it?” Wanita itu bertanya dengan mata masih terpejam. 
      Jawab sejujurnya atau berbohong? 
      “Bad. Very bad. I am sorry….” Ratusan maaf rasanya tidak cukup. 
      
       Wanita itu dengan pelan membuka mata dan tatapannya di arahkan ke Elius. 
       Elius merasa wajahnya memerah, merasa bersalah, sungkan, tidak sepadan tapi juga rindu untuk menerima tatapan wanita itu serindu pengembara menantikan kemunculan bulan untuk menerangi dan menemani perjalanan  yang gelap dan terpencil. 
      

No comments:

Post a Comment