Thursday, November 24, 2016
Setangkai Daun yang Gugur. Part 25
Satu moment, Melina tertawa bebas, ringan, nyaman dan carefree. Moment berikutnya, tertawanya hilang dan wajahnya memerah …..marah? Kenapa? Elius bingung.
Kebingungan yang bertambah, karena moment selanjutnya, Melina begitu saja bangkit dari kursinya, memohon diri dan bergegas ke mesin cuci yang baru saja berhenti seolah mesin cuci akan mengamuk jika Melina terlambat.
Apakah Melina kehabisan waktu? Mertua Melina mungkin bukan orang yang sabar.
Elius segera bangkit dari kursinya untuk menolong Melina mengeluarkan karpet dari salah satu mesin cuci. Sekali lagi pandangannya menemukan wajah Melina yg….. memerah.
Elius mengangkat alis….. apa lagi kesalahannya?
Elius coba tidak memperdulikan kesalahan apa yang ia lakukan yang cukup membuat wajah Melina merah marah. Dengan efficient ia masukkan karpet ke mesin pengering. Melina melakukan hal yang sama di sebelah mesin yang Elius pakai.
Tapi Melina putar pengering temperature ke set yang paling panas. Elius otomatis menjulurkan tangannya, menempatkannya di atas Melina mencegah Melina.
“Terlalu panas. Karpet meleleh.” Elius menerangkan ketika Melina menoleh ke arahnya dengan mata penuh pertanyaan.
Sekali lagi wajah Melina memerah, ia menggigit bibirnya seolah-olah mencegah dirinya untuk mengatakan sesuatu yang tidak baik kemudian, mengalihkan pandangannya kearah berlawanan dari wajah Elius.
Salah apa lagi aku ini?
Elius tidak mengerti tapi kehilangan suara untuk bertanya, karena melihat Melina menggigit bibirnya sedemikian rupa dan merasakan sentuhan tangan mereka cukup membuat pikiran Elius untuk terbang hanya ke satu jurusan……ah……..
……help me God…..
Monday, November 21, 2016
Setangkai Daun yang Gugur. Part 24
Melina tidak ingat kapan terakhir kali ia tertawa sebebas ia tertawa saat itu. Nyaman dan merasa ringan. Carefree. Seolah tidak ada kewajiban dan kehidupan lain, selain mendengarkan cerita dan menikmati suara Eli, yang datang menyentuh dan membelai telinga Melina seperti old lover.
Old lover?
Melina merasakan wajahnya memerah. Bagaimana ia mampu memikirkan hal seaneh “old lover” dengan seorang yang ia baru kenal ?
Di seberang meja plastic Eli mengangkat alis….
Untung waktu itu mesin yang mencuci karpet mengeluarkan suara ‘beep’ , tanda cucian selesai dan siap untuk di keringkan.
“Cucian selesai….” Ucap Melina dan secpatnya mohon diri untuk menaruh cucian di pengering.
Melina merasakan tatapan Eli mengikuti gerakannya. Seperti kemarin di park, tatapan Eli membuat darah Melina mengalir panas seperti lava dengan keinginan besar untuk….Melina menngelengkan kepalanya. Old lover….sekarang mikirin ini? Ah…..
Dengan tergesa Melina menuju ke mesin cuci dan menyembunyikan dirinya dari tatapan Eli di belakang mesin.
Tapi persembunyian itupun hanya berjumlah beberapa detik. Karena waktu Melina mengeluarkan karpet dari mesin cuci kedua, Eli juga mengeluarkan karpet dari mesin ketiga.
Old lover…..lava mendidih panas……
Wajah Melina memerah lagi.
Sekali lagi Melina melihat Eli mengangkat alis mata.
Oh…god…..help me here…..
Sunday, October 30, 2016
Setangkai Daun yang Gugur part 23
Daun Gugur 23.
Elius.
Dari menjelaskan keindahan kota kecil South Haven, Elius menemukan dirinya bercerita tentang pengalaman lucu yang ia temui ketika pertama kali mengunjungi kota kecil itu.
Setelah beberapa bulan di U.S., akhirnya Elius mendapatkan hari libur di akhir bulan October. Selalu mendengar tentang keindahan Danau Michigan, ia memutuskan untuk camping di sana. Kebetulan tempat camping yang ia pilih di pinggir kota South Haven.
Sedang asyiknya menikmati alam dan memandang bayangan bulan yang menari di atas air, Elius mendengar suara berisik datang dari semak-semak di belakangnya. Ia menoleh, melewati kegelapan di seklilingnya, Elius melihat sesuatu yang kelihatan seperti….rambut coklat, kemudian sepasang mata hitam yang ganas, kemudian hidung besar, taring panjang dan seluruh badan kecoklatan yang dengan perlahan merangkak ke arahnya….. Singa!!!!
Whoosh….!
Elius bangkit dari posisi duduk dekat tenda dan dengan kecepatan mengimbangi superman, lari secepatnya ke arah danau. Singa takut air.
Sang singa tentu saja mengejar.
Elius menambah kecepatan kakinya lari ke danau….sepuluh meters, tujuh meter, empat meter, satu meter lagi…..
“Hey….wait!” Sang singa berteriak.
What?
Telapak kaki Elius yang menyentuh air danau yang lebih dingin dari air es merasa lega ketika Elius menariknya kembali ke atas pasir yang walaupun dingin tapi kering.
“What did you do that for?” Sang singga bertanya. Nafasnya ngos-ngosan.
“Did what?”
“Going to the water. You know, it’s cold enough to kill you within minutes.”
“I….I…..” Elius menggaruk-garuk kepala. Tidak mau kelihatan seperti idiot lari dari orang yang pakai costume singa….tapi…. Elius tidak punya penjelasan lain. “I thought you were a…lion?”
“A lion?”
Sang singa tertawa….
Melina tertawa…..
Elius mengankat bahu lebih menikmati mendengar suara tawa Melina daripada mengikutinya tertawa,
“Singa di Michigan?” Tanya Melina mencoba untuk berhenti tertawa,
“Kemungkinan….”
“Singa kaki empat…no..no…. Singa kaki dua…yes..yes…” Melina dengan bebas tertawa lagi.
Elius.
Dari menjelaskan keindahan kota kecil South Haven, Elius menemukan dirinya bercerita tentang pengalaman lucu yang ia temui ketika pertama kali mengunjungi kota kecil itu.
Setelah beberapa bulan di U.S., akhirnya Elius mendapatkan hari libur di akhir bulan October. Selalu mendengar tentang keindahan Danau Michigan, ia memutuskan untuk camping di sana. Kebetulan tempat camping yang ia pilih di pinggir kota South Haven.
Sedang asyiknya menikmati alam dan memandang bayangan bulan yang menari di atas air, Elius mendengar suara berisik datang dari semak-semak di belakangnya. Ia menoleh, melewati kegelapan di seklilingnya, Elius melihat sesuatu yang kelihatan seperti….rambut coklat, kemudian sepasang mata hitam yang ganas, kemudian hidung besar, taring panjang dan seluruh badan kecoklatan yang dengan perlahan merangkak ke arahnya….. Singa!!!!
Whoosh….!
Elius bangkit dari posisi duduk dekat tenda dan dengan kecepatan mengimbangi superman, lari secepatnya ke arah danau. Singa takut air.
Sang singa tentu saja mengejar.
Elius menambah kecepatan kakinya lari ke danau….sepuluh meters, tujuh meter, empat meter, satu meter lagi…..
“Hey….wait!” Sang singa berteriak.
What?
Telapak kaki Elius yang menyentuh air danau yang lebih dingin dari air es merasa lega ketika Elius menariknya kembali ke atas pasir yang walaupun dingin tapi kering.
“What did you do that for?” Sang singga bertanya. Nafasnya ngos-ngosan.
“Did what?”
“Going to the water. You know, it’s cold enough to kill you within minutes.”
“I….I…..” Elius menggaruk-garuk kepala. Tidak mau kelihatan seperti idiot lari dari orang yang pakai costume singa….tapi…. Elius tidak punya penjelasan lain. “I thought you were a…lion?”
“A lion?”
Sang singa tertawa….
Melina tertawa…..
Elius mengankat bahu lebih menikmati mendengar suara tawa Melina daripada mengikutinya tertawa,
“Singa di Michigan?” Tanya Melina mencoba untuk berhenti tertawa,
“Kemungkinan….”
“Singa kaki empat…no..no…. Singa kaki dua…yes..yes…” Melina dengan bebas tertawa lagi.
Setangkai Daun yang Gugur. Part 22.
Daun Gugur 22.
Melina.
“Pernah ke South Haven?” Eli bertanya.
Melina menggelengkan kepala. Suami Melina bukan type orang yang membuang waktu menjadi tourist apalagi tourist ke kota kecil seperti South Haven.
“Kalau ada waktu singgah di sana lumayan bagus…Light house, pantai, danau, …”
Kemudian Eli menjelaskan keindahan kota kecil yang bernama South Haven di pinggir timur Danau Michigan.
Menjelaskan ke Melina air danau yang cukup bening untuk sinar matahari menerangi dasar danau walaupun terbenam lima meter dari permukaan air.
Menjelaskan keindahan pemandangan light house, Boardwalk dan pemandangan sunset di atas Danau Michigan.
Menjelaskan betapa luasnya Danau Michigan, sampai Eli kadang lupa bahwa yang ia lihat dari pantai adalah sebuah danau dan bukan samudra.
Melina mendengarkan penjelasan Eli. Menikmati suaranya yang berat bercampur keserakan dari tenggorokan yang sering mengisap asap rokok.
Oma Melina pernah memberi Melina pesan untuk menjauhi seorang perokok. Seorang perokok bisa kecanduan merokok yang lebih bahaya dari kretek, seperti apa yang terjadi pada Opa. Kecanduan yang menghabiskan keuangan keluarga dan menamatkan kehidupan. Hindari seorang perokok sejauhnya, pesan Oma.
Melina.
“Pernah ke South Haven?” Eli bertanya.
Melina menggelengkan kepala. Suami Melina bukan type orang yang membuang waktu menjadi tourist apalagi tourist ke kota kecil seperti South Haven.
“Kalau ada waktu singgah di sana lumayan bagus…Light house, pantai, danau, …”
Kemudian Eli menjelaskan keindahan kota kecil yang bernama South Haven di pinggir timur Danau Michigan.
Menjelaskan ke Melina air danau yang cukup bening untuk sinar matahari menerangi dasar danau walaupun terbenam lima meter dari permukaan air.
Menjelaskan keindahan pemandangan light house, Boardwalk dan pemandangan sunset di atas Danau Michigan.
Menjelaskan betapa luasnya Danau Michigan, sampai Eli kadang lupa bahwa yang ia lihat dari pantai adalah sebuah danau dan bukan samudra.
Melina mendengarkan penjelasan Eli. Menikmati suaranya yang berat bercampur keserakan dari tenggorokan yang sering mengisap asap rokok.
Oma Melina pernah memberi Melina pesan untuk menjauhi seorang perokok. Seorang perokok bisa kecanduan merokok yang lebih bahaya dari kretek, seperti apa yang terjadi pada Opa. Kecanduan yang menghabiskan keuangan keluarga dan menamatkan kehidupan. Hindari seorang perokok sejauhnya, pesan Oma.
Tapi bagaimanakah Melina mampu menjauhi Eli, jika suara Eli seperti suara ombak membelai pantai, mengundang dan memberi harapan kepada penumpang perahu yang bertahun tahun tidak pernah melihat daratan?
Setangkai Daun yang Gugur 21.
Elius.
“Tinggal dekat sini?” Elius bertanya. Sekali lagi ingin membuka percakapan.
“Nggak. Tinggal di Northville.”
“Jauh…untuk laundry.”
Melina tersenyum.” Itu untuk mertua. Dia tinggal dekat sini.”
Mertua….suami….
Elius menggelengkan kepala, mengusir perasaan tidak nyaman. “Karpetnya baru….kok dicuci?”
Melina tertawa kecil. “Iya.... Kata mertua, karpet itu kan diinjak-injak pembeli yang lain. Cuci dulu sebelum dibawa pulang.”
Ketika Elius mendengar tawa kecil Melina yang ringan dan polos, untuk sesaat Elius merasa jiwanya terbang meninggalkan tubuhnya, melayang ke suatu tempat yang jauh dan lama.
Tempat yang ia kenal tapi tidak ingat.
“Eli, tinggal dekat sini?” Pertanyaan Melina membawa jiwa Elius kembali ke tubuhnya.
Elius tersenyum sebelum menjawab,”Trailer di South Haven. Tapi kebanyakan hidup di truck.”
“A trucker?”
Elius mengangguk.
“Long distance?”
Sekali lagi Elius menganggukkan kepala.
“Sangat menarik. Selalu kepingin menjelajah negara sebagai trucker.”
Elius tersenyum,” Setelah beberapa tahun tidak begitu menarik lagi. A trucker seperti pengembara, jarang bisa tinggal di tempat yang sama dalam waktu yang panjang.”
“Pengembara …..punya rumah di South Haven,” Melina tersenyum,” Sedikit ke utara…..Heaven.”
Elius tersenyum. Seluruh tubuhnya tersenyum. Sekali lagi jiwanya melayang ke tempat yang jauh dan lama….mengingat wanita yang sering membuat seluruh tubuhnya tersenyum….
Dimana dan kapan….?
Elius.
“Tinggal dekat sini?” Elius bertanya. Sekali lagi ingin membuka percakapan.
“Nggak. Tinggal di Northville.”
“Jauh…untuk laundry.”
Melina tersenyum.” Itu untuk mertua. Dia tinggal dekat sini.”
Mertua….suami….
Elius menggelengkan kepala, mengusir perasaan tidak nyaman. “Karpetnya baru….kok dicuci?”
Melina tertawa kecil. “Iya.... Kata mertua, karpet itu kan diinjak-injak pembeli yang lain. Cuci dulu sebelum dibawa pulang.”
Ketika Elius mendengar tawa kecil Melina yang ringan dan polos, untuk sesaat Elius merasa jiwanya terbang meninggalkan tubuhnya, melayang ke suatu tempat yang jauh dan lama.
Tempat yang ia kenal tapi tidak ingat.
“Eli, tinggal dekat sini?” Pertanyaan Melina membawa jiwa Elius kembali ke tubuhnya.
Elius tersenyum sebelum menjawab,”Trailer di South Haven. Tapi kebanyakan hidup di truck.”
“A trucker?”
Elius mengangguk.
“Long distance?”
Sekali lagi Elius menganggukkan kepala.
“Sangat menarik. Selalu kepingin menjelajah negara sebagai trucker.”
Elius tersenyum,” Setelah beberapa tahun tidak begitu menarik lagi. A trucker seperti pengembara, jarang bisa tinggal di tempat yang sama dalam waktu yang panjang.”
“Pengembara …..punya rumah di South Haven,” Melina tersenyum,” Sedikit ke utara…..Heaven.”
Elius tersenyum. Seluruh tubuhnya tersenyum. Sekali lagi jiwanya melayang ke tempat yang jauh dan lama….mengingat wanita yang sering membuat seluruh tubuhnya tersenyum….
Dimana dan kapan….?
Sunday, October 16, 2016
Daun Gugur 20.
Melina.
“Kopinya, ok?” Eli bertanya.
Melina mau menjawab, ‘Sedikit cream dan gula, akan lebih enak.’ Tapi Eli bukan type ‘cream dan gula’. Kopi Eli tanpa tambahan, seperti orangnya: tidak bertele-tele.
Eli masukan bathroom karpet ke mesin cuci, menambahi sabun, membeli coin untuk menjalankan mesin. Kemudian Eli mengambil laundrynya dari mesin pengering, membawa laundry ke truck, kembali ke laundromat dengan sebungkus es, untuk di taruh di atas benjolan di dahi Melina, menyarankan untuk Melina duduk di kursi plastic, balik lagi ke trucknya, kembali dengan dua cangkir kopi. Semua Eli lakukan dengan efficient dan tanpa embel-embel.
“Kopinya, ok. Terimakasih.”
Melina meniup kopi pekat dan agak pahit dengan pelan sambil mengingatkan dirinya untuk menikmati kopi buatan Eli. Melina tidak ingat kapan ada orang lain, selain pegawai café, membuatkan dia kopi. Suami Melina tidak pernah membuat kopi , atau mengerjakan laundry dan pekerjaan rumah tangga yang lainnya. Berbeda dengan Eli.
Thursday, October 13, 2016
Setangkai Daun yang Gugur. Part 19.
Elius.
Bathroom carpet berputar di mesin cuci. Cucian Elius telah selesai dan menunggu untuk dilipat di dalam truck cab. Elius dan Melina duduk di kursi plastic di pojok laundromat. Sebungkus es dari kulkas di truck Elius menempel di atas dahi Melina. Dua cangkir kopi yang Elius baru rebus duduk di atas meja plastic yang memisahkan kursi mereka.
Ratusan pertanyaan yang menginginkan jawaban dari Melina menbanjiri benak Elius. Tapi ratusan jawaban juga dari Melina yang Elius tidak ingin tahu. Seperti kehadiran cincin bermata berlian empat karat berdampingan dengan cincin platinum polos yang melingkari jari Melina. Elius terus terang tidak mau tahu jawabannya.
Tapi….kehadiran satu suami atau sepuluh atau seratus di samping Melina apakah akan mampu merubah apa yang Elius rasakan terhadap Melina?
“Kopinya, ok?” Elius memilih pertanyaan enteng.
Saturday, October 8, 2016
Setangkai Daun yang Gugur. Part 18.
Melina.
“You, okay?”tanya Eli. Sekali lagi mereka berhadapan. Tangan Melina berada di dalam genggaman Eli.
Melina mengangguk, “Kenal mereka?”
Eli menggelengkan kepala. “Hanya melihat mereka ketiga kalinya di sini.”
“Gang atau….?”
Eli tersenyum, menggelengkan kepala. “Anak muda tanpa kerjaan. Oh..ya… “ Eli meraih cincin Melina dari kantongnya. “Sorry about this.” Dan dengan begitu saja, Eli memasukkan kedua cincin ke jari Melina. Mengingatkan Melina ketika suaminya memasukkan kedua cincin tersebut dua puluh tahun yang lalu.
Sejenak, Melina ingat posisinya sebagai istri lelaki lain dan harus menjauhi Eli. Tapi pemandangan tangan Eli memasukkan cincin ke jari Melina kelihatan sangat natural, Melina tidak sanggup menarik tangannya. Lagipula sentuhan Eli membawa kedamaian yang Melina tidak pernah alami sebelumnya. Melina menatap wajah Eli, tidak cakep, tidak ganteng, tapi…..
…….pandangan mata mereka bertemu. Coklat pekat mata Eli menatap Melina seolah ia menginginkan sesuatu….a kiss?
Tapi……
Eli begitu saja melepaskan tangan Melina, melangkah ke arah bathroom karpet yang berhamburan di atas mesin cuci dan lantai. Tanpa mengucapkan apapun ia melanjutkan merobek merek dari karpet dan masukkan mereka ke tiga mesin cuci besar.
Sekali ini Melina tidak protest.
Friday, October 7, 2016
Setangkai Daun yang Gugur. Part 17.
Aku turun dari mobil. Berjalan ke arah bagasi. Membuka bagasi kemudian mulai meraih tas-tas kantong laundry. Tapi suara gaduh dari arah laundromat mengambil perhatianku.
Aku memundurkan badan sehingga lebih jelas melihat apa atau siapa yang membuat suara gaduh.
Empat lelaki muda berkulit gelap berpakaian kaos hitam dan celana yang menyantol dari pinggul mereka, berjalan ke arah laundromat dengan sikap yang menunjukkan keinginan untuk menguasai dunia dengan cara apapun.
Tanpa pikir panjang, aku tutup pintu bagasi mobil, kemudian secepatnya kembali memasuki mobilku. Semurah atau sebersih apapun ini laundromat, tidak ada untungnya kalau diganggu oleh orang brandalan seperti group anak muda yang memasuki laundromat.
Aku mundurkan mobil dan secepatnya keluar dari plaza seperti ayam gemuk diburu koki ahli yang doyan masak ayam
Thursday, October 6, 2016
Setangkai Daun yang Gugur. Part 16
“Yo, what’s up!” Melina mendengar suara yang berat berlogat special datang dari belakangnya.
“What’s up!” Jawab Eli disusul oleh fist-bump antara Eli dan lelaki berkulit gelap yang menyapa mereka.
Sementara itu Eli telah memutar dan memposisikan badan Melina di belakang badannya sekalian dengan keahlian tukang copet, Eli melepaskan dua cincin yang menghuni jari Melina dan mengantonginya di kantong belakang jeansnya.
“Laundry day?”
Eli mengangkat bahu.
Pandangan lelaki berkulit coklat hitam di arahkan ke Melina. Tiga pengikutnya juga memandang Melina seolah Melina barang pajangan. “New?”
Lelaki pemimpin group kecil itu, tidak kelihatan begitu brandalan. Dua pengikut di sampingnya kelihatan kekanakan. Tapi pengikut yang berdiri di belakang pemimpin mempunyai sorot mata tajam dan kasar, cukup membuat bulu lengan Melina merinding.
Sekali lagi Eli mengangkat bahu.
Lelaki pemimpin group tertawa. Dua pengikutnya tertawa. Mata tajam dan kasar, tidak berreaksi..
“Any smoke?”
Tanpa menjawab Eli meraih sebungkus rokok dari kantong jeans..
“Don't want it back.”kata Eli.
“Thanks , man.”
Fist-bump.
“Stay cool.”
“Stay cool,” jawab Eli.
Group itu berbalik, berjalan ke pintu keluar, meraih dan menendang keranjang cucian laundromat yang mereka lewati.
“Hey," Suara Eli tidak jkeras tapi cukup kuat mengambil perhatian mereka.
Sang pemimpin membalikkan badan, memberi tanda salut, sebelum keluar dari laundromat.
Tuesday, October 4, 2016
Setangkai Daun yang Gugur. Part 15.
Melina.
Wajah Eli tidak bisa dikatakan wajah yang tampan.
Dari mata yang berwarna coklat pekat tidak lebar atau sipit, hidung yang walaupun lurus tapi tidak mancung, bibir yang kehitaman tidak tipis atau tebal dan terbaring agak miring di atas wajah kulit coklat tua, semuanya tidak ada yang istimewa.
Badan Eli walaupun lebih tinggi dari kebanyakan orang, agak kurus untuk memasuki katagori ganteng.
Lalu apa yang menarik Melina sampai ia merasa kehilangan ketika sentuhan mereka terputus?
Apakah senyum Eli? Yang seperti matahari terbit pada akhir malam yang dingin , mili demi mili menghangati seluruh tubuh Melina?
Atau mata Eli ketika pandangan mereka bertemu? Yang seperti pelabuhan teduh dan penuh perlindungan buat perahu di hati Melina yang selama ini tanpa Melina sadari terombang ambing tanpa tujuan di lautan yang tanpa batas?
Melina tidak bisa menjawab dengan jelas.
Yang jelas, daya tarik Eli ke seluruh badan dan nurani Melina melebihi daya tarik matahari ke sembilan planet di Tata Surya.
Yang jelas, sebagai istri lelaki lain, Melina harus menjauhi Eli.
Melina melangkah mundur, tapi Eli telah melangkah maju dan tanpa rasa sungkan menarik Melina kepelukannya.
Melina ingin menolak tetapi……..
Sunday, October 2, 2016
Setangkai Daun yang Gugur. Part 14.
Elius.
Elius mengingatkan dirinya, ia dan Melina hanya dua orang yang baru kenal. Tidak ada salahnya untuk Melina melepaskan jabatan tangan dengan begitu saja. Elius seharusnya tidak merasa kehilangan saat tangan kontak mereka berakhir. Tapi perasaan Elius tidak mau bercooperate.
Seluruh tubuhnya terasa tertarik ke arah Melina, seolah-olah Melina terbuat dari jutaan magnet dan setiap titik darah Elius seperti butiran pasir yang rindu menempel ke magnet itu.
Elius menarik nafas panjang. Mencoba mengontrol keinginan untuk menyentuh Melina. Sekaligus mengontrol kekecewaan yang menbanjiri hatinya karena kelihatannya Melina merasakan effect yang berlawanan dari apa yang Elius rasakan.
Setelah melepaskan tangan kontak, Melina menggerakkan badannya beberapa centi menjauhi Elius. Ia berdiri dengan dua lengan bersilang di depan badannya, posisi melindungi dirinya dari Elius. Melina menggigit bibirnya bawahnya, kelihatan agak bingung dan kwatir…..
“Dari Indonesia?” Pertanyaan yang Elius harap bisa membuat Melina lebih nyaman dengan situasi mereka.
Melina menatapnya, lengan bersilang di badannya kelihatan lebih relax. “Iya.”
“Bisa bahasa Indonesia?”
Friday, September 30, 2016
Setangkai Daun yang Gugur. Part 13.
Melina.
Laundromat.
Melina memandang dua tangan yang berjabatan. Satu kulit coklat , tangan Eli, yang satunya lagi kulit agak putih, tangan Melina. Dua warna berbeda tapi kelihatan serasi, seserasi perasaan hati Melina.
Eli tadi bertanya, kalau ia ingat perjumpaan mereka. Bagaimanakah Melina mampu melupakan perjumpaan mereka? Jika setiap ia memejamkan mata, wajah Eli terpajang di depannya? Jika sentuhan tangan Eli kemarin hari, walaupun hanya beberapa detik, sudah cukup membuat Melina merindukan sentuhan itu lagi?
Pandangan Melina sekali lagi jatuh ke tangan mereka yang berangkai seolah dua warna menjadi satu. Seperti warna bendera Indonesia ; merah, putih, berani dan suci. Tangan Eli yang besar dan sedikit kasar dari kerja berat, sepadan untuk melambangkan keberaniaan. Tapi kesucian? Apakah ada kesucian dalam seorang istri yang merindukan untuk bersama lelaki yang bukan suaminya sendiri?
Melina dengan tergesa melepaskan kontak tangan dengan Elius, seolah ia melepaskan sesuatu yang perlu di campakkan.
“Are you, okay?”
“Yah….” Melina menggelengkan kemudian menganggukkan kepala.
Tidak okay, karena merasa kehilangan ketika kontak tangan mereka terputus. Okay, karena itu hal yang seharusnya, sewajibnya, dilakukan oleh seorang istri yang setia. Tapi apakah kesetiaan terhadap suami cukup untuk menjauhi Eli, yang punya kekuatan seperti sejuta magnet menarik Melina lahir maupun batin?
Wednesday, September 28, 2016
Setangkai Daun yang Gugur. Part 12.
Ferona.
Aku arahkan mobilku ke tempat parkir dekat laundromat. Menghindari lobang-lobang sebanyak mungkin, tapi mobil tetap terasa seperti perahu di goyang badai. Goyang ke kanan, goyang ke kiri.
Sekelompok rumput kering menggelinding di depan mobilku. Membawa imaginasiku ke pemandangan kota terbengkelai di tengah gurun dari film cowboy. Mengungkit ingatanku ke pria dengan mata seperti pengembara yang kesepian dari potluck in the park….ah…seandainya aku bisa membuat mata itu tidak merasa kesepian tapi….tersenyum….
Aku sampai di depan laundromat dan memilih tempat parkir di samping sebuah silver Lexus. Logikaku ; siapa yang akan merampok Honda jika Lexus dalam jangkaun?
Tuesday, September 27, 2016
Setangkai Daun yang Gugur. Part 11.
Elius.
Wanita itu menggigit bibirnya, pipinya memerah…….
Elius menunggu dengan detak jantung bergetar seperti jembatan Golden Gate di goyang taipoon. Kalau wanita itu tidak ingat perjumpaaan mereka…..
Wanita itu berdesah, menggigit bibirnya sekali lagi….
“I……remembered.”
Oh? Jembatan dan taipoon terlupakan, jantung Elius terbang seperti elang menyebrangi Grand Canyon. Ia ingat!!
Elius menjulurkan tangan. “Eli.”
Sejenak wanita itu hanya memandang tangan Elius, menjabat atau tidak?
Wanita itu tersenyum kemudian menjulurkan tangan dan menjabat tangan Elius.
Tangan sehalus belaian bunda di hati Elius. Elius merasa seperti elang terbang jungkir-balik menyebrangi Grand Canyon.
“Melina.” Wanita itu mengenalkan namanya.
Monday, September 26, 2016
Setangkai Daun yang Gugur.part 10.
Elius.
“Bad. Really bad. That bad, huh?” Wanita itu bertanya.
Elius hanya bisa mengangguk. Benjolan sebesar telur bebek itu memang benar- benar bad, tapi wanita itu tetap menarik, bahkan lebih menarik dari satu detik ke detik lainnya dalam pandangan Elius.
“I am really sorry…..” Apalagi yang Elius bisa katakan? “That’s got to be hurt like hell. I am sorry.”
Tiba- tiba wanita itu melepaskan tawa kecil.
“You’ve got one too.”
Moment berikutnya, Elius merasakan sentuhan tangan wanita itu pada benjolan di dahinya.
Hurt like hell, yes! Tapi.....
......... sentuhan tangan wanita itu juga mengirim Elius ke tanah yang bernama sorga.
“Is it hurt?” Wanita itu menarik tangannya kembali.
Elius menggelengkan kepala. “A little. I have a hard head, you know.” Elius mengangkat karpet yang mereka sailing tarik, beberapa saat yang lalu.
Wanita itu tersenyum. Elius juga tersenyum.
Beberapa detik, seabad di perasaan Elius, lewat diantara mereka. Elius menyandar pada satu mesin cuci, satu meter darinya, wanita itu juga menyandar pada satu mesin cuci yang lain. Satu meter yang selebar Grand Canyon dipandangan Elius. Elius mengingat lagi sentuhan wanita itu. Ia harus menyebrangi Grand Canyon yang memisahkan mereka.
“Yesterday….” Elius berdesah, “We’d met….remember?”
Wanita itu menggigit bibirnya, pipinya memerah…….
Friday, September 23, 2016
Setangkai Daun yang Gugur. Part 9.
Elius.
“Sorry….sorry….” Elius kelabakkan meminta maaf.
Walaupun Ia merasakan kepalanya seperti mau pecah, pandangan berkunang, perasaan perih tajam memukul sudut kanan dahinya, tapi hati Elius merasa lebih perih menyaksikan bagaimana wanita itu menggoyangkan kepalanya, mencoba mengusir kepeningan yang jelas ia juga rasakan. Sementara telur bebek berwana merah muda mulai menjelma di sudut kiri dahi wanita itu.
“Sorry…sorry….” Elius minta maaf lagi.
Wanita itu tetap menggoyangkan kepalanya dan dengan pelan melepaskan pegangan tangan Elius kemudian bersandar ke mesin cuci terdekat.
“I am truly sorry. I didn't mean to hurt you….I….I….was….” What? Elius tidak bisa melanjutkan kata-katanya.
Tangan wanita itu meyentuh dahinya, menemukan benjolan telur bebek, tangan segera diangkat seperti menyentuh api.
Mata terpejam lagi.
“How bad is it?” Wanita itu bertanya dengan mata masih terpejam.
Jawab sejujurnya atau berbohong?
“Bad. Very bad. I am sorry….” Ratusan maaf rasanya tidak cukup.
Wanita itu dengan pelan membuka mata dan tatapannya di arahkan ke Elius.
Elius merasa wajahnya memerah, merasa bersalah, sungkan, tidak sepadan tapi juga rindu untuk menerima tatapan wanita itu serindu pengembara menantikan kemunculan bulan untuk menerangi dan menemani perjalanan yang gelap dan terpencil.
Setangkai Daun yang Gugur. Part 8.
Elius.
Moment berikutnya.
“What do you think you are doing?” Wanita tersebut bertanya dengan marah dan tanpa menunggu jawaban, mulai meraih karpet yang berada di tangan Elius.
‘Apa yang saya lakukan? Hell, if I knew,’ pikir Elius. Tidak pernah dalam hidup empat puluh enam tahun, ia melakukan hal sekonyol dan tidak masuk akal seperti saat itu.
" I want to help you,” ucap Elius.
Monolong? Menolong mencuci? Mereka tidak kenal.
Elius merasa semakin konyol.
“I don't need your help. Let go of my things.” Wanita itu sekali lagi menarik karpet yang berada di dalam genggaman Elius.
Elius dengan reflex menariknya kembali…..Mereka tarik menarik karpet…..
Mata wanita itu melebar, bibirnya mengkerut, pipi kemerahan menahan marah.
Elius benar- benar merasa konyol dan sedikit crazy.
Dengan keinginan untuk melindungi wanita itu, Elius mengikutinya ke laundromat. Sekarang satu-satunya orang yang membahayakan wanita itu adalah Elius sendiri, merampok karpetnya di siang bolong!!!
Apakah ada orang sekonyol Elius saat itu di dunia ini?
Elius melepaskan genggaman dari karpet tapi wanita itu masih menarik dengan kuat mengakibatkan wanita itu tersandung ke belakang. Elius dengan kecepatan kilat meraih dan menarik wanita itu sebelum ia terjatuh. Semuanya terjadi begitu cepat, kepala mereka tabrakan seperti dua meteor di Galaxy.
Wednesday, September 21, 2016
Setangkai Daun yang Gugur. Part 7.
Elius.
Di laundromat.
Wanita itu terpaku di tempatnya. Elius terpaku di tempatnya. Keduanya tidak bergerak sejari pun.
Terpaku….
..........Seperti dua cowboy yang siap berduel.
Customer laundromat yang lain tidak ada yang peduli.
Beberapa menit berlalu, posisi mereka tidak berubah. Ratusan scenario berterbangan di benak Elius…..
Akhirnya……
Elius berjalan melewati wanita tersebut. Dengan sisa coin yang berada di kantong jeansnya, Elius membeli tiga kotak sabun cuci. Membalikkan badan….berhadapan dengan wanita tersebut….,tanpa kata….,membungkuk dan meraih tas-tas kantong …..kemudian mengangkatnya ke arah serangkaian mesin cuci besar di tengah-tengah laundromat.
Elius mulai membuka tas-tas tersebut, meraih isinya….
‘F*** apa ini?’
Di dalam tas-tas kantong, tergeletak dengan manisnya satu set bathroom karpet lengkap dengan merek dan ticket harga masih terjahit pada ujung karpet.
‘Karpet baru...…dicuci? ‘ Elius ngomel dalam hati. Tapi tangannya mulai menarik semua kertas merek dan ticket harga dengan kekuatan singa menarik daging dari tulang.
“Hey!” Wanita itu seperti terbangun dari mimpi, berteriak dan bergegas ke arah Elius. Wajahnya merah….marah!!
Elius mengalihkan pandangan dari apa yang ia kerjakan ke wanita itu. Bukan wajah merah marah yang ia lihat, tapi wajah seorang yang ia cari seumur hidup dan kenal berabad-abad.
Sunday, September 11, 2016
Setangkai Daun yang Gugur. Part 6
Elius.
Beberapa menit kemudian.
Dengan tergesa, Elius mengganti kaos yang ternoda kopi dengan kaos yang bersih.
Sementara itu, wanita tersebut berjalan ke belakang Lexus. Membuka bagasi, menurunkan tiga tas besar dari bagasi, menutup bagasi, kemudian berjalan ke pintu depan laundromat.
Tawa kecil lepas dari bibir Elius, melihat wanita tersebut melompat dari satu kaki ke kaki lainnya di depan pintu laundromat, sebelum ia menyadari pintu laundromat bukan pintu yang terbuka dengan otomatis.
Ketika Elius memasuki laundromat, ia menemukan wanita itu terpaku di depan vending machine yang menjual sabun cuci di bagian belakang laundromat. Tiga tas besar dari bagasi berada di sisinya.
‘Pilih yang mana?’ Seolah-olah wanita itu terpesona dengan banyaknya pilihan sabun cuci.
Elius juga terpaku di tempatnya. ‘Now, what?’
Beberapa menit yang lalu, instict untuk melindungi, mendorong Elius untuk mengejar wanita tersebut. Tetapi….melihat wanita itu berada dalam keadaan selamat, Elius kehilangan motif, tidak tahu langkah berikutnya. Apalagi ia menyadari betapa ‘mahal’nya wanita tersebut ; tas, sepatu, jeans dan kaos putihnya berharga jauh dari jangkauan gaji Elius.
Sinar matahari sore yang menerobos dari jendela laundromat, membuat bayangan Elius memanjang dan menyentuh wanita tersebut. Membangunkan perasaan ngilu di hati Elius; kerinduan menyentuh wanita tersebut dengan tubuhnya sendiri bukan hanya oleh bayangan badannya.
Thursday, September 8, 2016
Setangkai Daun yang Gugur. Part 5.
Ferona.
Harry berikutnya.
Sekali lagi aku check GPS di iPhone-ku. Kelihatannya aku benar-benar telah sampai di tujuanku. Kata temanku, self-service laundromat di plaza ini, mesin cucinya lebih bagus dari laundromat yang lain ; hasil cucian lebih bersih dan kering. Tapi….
Aku memperhatikan plaza di depanku sekali lagi, sepi banget. Toko kebanyakan kosong daripada yang buka untuk business. Plaza kelihatan terbengkelai puluhan tahunan. Apa plaza ini aman?
Melihat beberapa mobil dan semi-truck yang parkir di sekitar laundromat, aku akhirnya memutuskan ; setidak tidaknya laundromatnya aman karena lumayan jumlah orang yang mengerjakan laundry di sana. Setidaknya aku harus coba ini laundromat sehingga perjalananku ke plaza ini tidak sia-sia.
Dengan pelan dan tetap waspada, aku jalankan mobilku ke arah tempat parkir dekat self-service laundromat.
Tuesday, September 6, 2016
Setangkai Daun yang Gugur. Part 4.
Elius.
Hari berikutnya.
Elius sedang menikmati secangkir kopi sambil menonton action film siaran Netflix di dalam semi-truck cab yang ia parkir di samping self-service laundromat dimana cucian Elius berputar di dalam mesin pengering, ketika sebuah Lexus SUV 470 warna silver menggelinding ke tempat parkir plaza, meraih perhatian Elius.
Beberapa meter memasuki tempat parkir, Lexus tersebut tiba-tiba berhenti. Seolah pengemudinya tersesat dan meragukan kebijaksanaan melanjutkan perjalanan ke plaza. Plaza yang sepi terbengkelai seperti tertidur di tengah gurun, dengan tempat parkir berlobang-lobang meniru permukaan bulan, umumnya tidak aman specially untuk pemilik mobil mewah.
Sesaat kemudian, SUV tersebut melanjutkan perjalanan, menghindari lobang-lobang sebanyak mungkin.
‘Hm…?’ Elius merasa heran.
Sinar matahari dan gelapnya jendela mobil, menyebabkan pengemudi Lexus tidak bisa kelihatan jelas. Tapi, ketika Lexus berhenti di depan self-service laundromat tidak jauh dari truck Elius, kemudian pengemudinya keluar dari SUV, cangkir di tangan Elius terbalik, menumpahkan kopi hangat ke blue- jeans dan kaos yang Elius pakai.
Wanita yang keluar dari SUV, wanita yang sama dari yang di park ; wanita yang wajahnya memenuhi pikiran dan semalaman mengganggu tidur Elius.
Sebelum Elius sempat memutuskan untuk bersumpah atau bersyukur melihat wanita itu lagi, jantungnya telah menari seperti joget mendengar gamelan idaman.
“F#*#,”sumpah Elius.
Setangkai Daun yang Gugur. Part 3.
Ferona.
Duduk disamping dua wanita di bawah park pavilion.
Udara sore masih lumayan panas. Keringat sebesar kelereng mengalir di punggungku. Angin yang bertiup melewati tempat dudukku di bawah park pavilion hanya memberi kesejukan sesaat saja. Pandanganku beralih ke tempat pria itu lagi. Ia berdiri bersama beberapa pria lain yang sibuk berbincang di bawah kerindangan pohon tidak jauh dari tempat dudukku.
Kulit tanganku masih merasakan sentuhannya ketika tangan kita tabrakan mengambil sendok kare sapi dan seluruh tubuhku masih merasa hangat dari sentuhan badannya ketika kita semua tersandung kesatu sama lainnya waktu group kita menang perlombaan tarik tali beberapa menit yang lalu.
Tatapan kami bertemu lagi. Satu senyum miring darinya merekah untukku. Jantungku sekali lagi bergetar terbang. Terbang jauh ke angkasa seperti sepotong daun gugur ditiup badai.
Saturday, September 3, 2016
Setangkai Daun yg Gugur. Part 2.
Elius.
Menonton perlombaan tali tarik yang berlangsung.
“Tarik…ayo…..Tarik…” teriak referee memberi semangat ke kedua group yang berlomba. Group pria sebelah kanan, group wanita sebelah kiri. Ini perlombaan keempat. Group pria menang tiga perlombaan sebelumnya.
Dari bawah kerindangan pohon terdekat, tatapan Elius sekali lagi kembali ke wajah wanita nomor tiga dari pertengahan tali.
“ Tariiiiiik……ayoooooo….” referee berteriak lagi.
Wajah wanita itu mengkerut, tersenyum, tercampur jadi satu. Walaupun sudah kalah tiga kali dia masih menikmati perlombaan, tetap berharap bisa menang sekali ini.
Wajahnya menciut ketika tali mulai tertarik ke arah group pria, group wanita jelas akan kalah kalau tidak dibantu.
Elius tanpa pikir lari kearah perlombaan. Mengambil posisi di belakang wanita tersebut. Tangan mencengkram dan menarik tali sekuat kuatnya. Boom!!! Tali tertarik ke arah mereka. Mereka menang.
Tubuh wanita di depan Elius tersandung ke belakang, mendarat di dada Elius. Dengan reflex Elius menangkap bahu wanita tersebut. Mata mereka bertemu.
Wajah wanita tersebut mulus seperti boneka Jepang. Hidung munggil tapi tidak begitu mancung. Mata tidak sipit, tidak lebar, tapi menatap Elius seolah mereka kenal beberapa abad. Jantung Elius bergetar seperti rumah reyot digoncang gempa. Tangan yang menyentuh bahu terbakar oleh keinginan untuk memeluk wanita tersebut. Apa yang terjadi?
Setangkai Daun yang Gugur. Part 1.
Ferona: “Awal pertemuan.”
Lokasi: Perayaan 17 Augustus, Indonesian potluck in the park.
Piringku hampir penuh, tapi masih ada tempat untuk sepotong kare sapi dari panci di tengah meja. Ketika tanganku meraih sendok untuk kare itu, tangan dia juga meraih sendok yang sama, akibatnya tangan kita tabrakan.
“Maaf…” kataku.
“Maaf…” kata dia dari seberang meja dengan senyum yang miring.
Mata kami bertemu. Aku menatap sepasang mata pengembara yang kesepian. Membuat jantungku berdetak gugup seperti tali gitar kekencangan dipetik seniman tanpa pengalaman.
“Silahkan, anda dulu.”katanya.
Huh…uhh…..benakku tidak bisa berpikir.
Ia tersenyum lagi.
Moment berikutnya, satu potong kare sapi yang empuk mendarat di piringku.
“Cukup?”tanyanya.
Aku hanya bisa mengangguk….pikiranku lepas landas entah kemana.
Saturday, March 19, 2016
Jalan Jalan ke Jakarta. Part 1.
Jalan Jalan ke Jakarta. Part 1.
……penerbangan dari Chicago ke Tokyo…..
Banyak teman saya bercerita tentang tempat indah dan menarik yang mereka kunjungi di Jakarta, seperti ; Monas, Ancol, Pasar Senayan dan puluhan tempat lain termasuk mega Mall yang super modern.
Tetapi mereka juga tidak pernah lupa menceritakan betapa ‘seramnya’ Jakarta; super mahal, jalan macet ber jam-jam, udara panas, polusi dan tentu saja penipuan atau pencopetan.
Dengan pro dan con ini, Jakarta menjadi salah satu kota yang saya sangat ingin kunjungi tetapi kunjungan yang saya selalu tunda.
Tapi kali ini, karena ticket ke Jakarta, lebih murah daripada ticket langsung ketujuan saya, saya akhirnya memutuskan mengunjungi Jakarta. Tiga hari di Jakarta sebelum melanjutkan penerbangan saya.
Penerbangan domestic membawa saya ke Chicago O’Hara airport. Dari Chicago saya akan terbang ke Tokyo, lantas Jakarta. Jakarta yang selalu dekat di hati tapi belum pernah dilihat mata, beberapa jam lagi akan berada dalam pelukan saya.
‘Jakarta bersiap-siaplah anda menerimaku.’
Karena O’Hara hub yang penting di Midwest Region, untuk penerbangan international atau domestic, saya lumayan sering singgah di sana. Terakhir kali saya singgah di sana, terminal International sedang dalam process dimodernisasikan. Sekarang semua kontruction sudah selesai.
Yang pertama kali saya notice adalah atap yang melunjang tinggi dan luasnya terminal.
Kedua, sebagai wanita setengah umur seperti saya yang sering kali perlu ke kamar kecil, keadaan kamar kecil umum menerima perhatian saya. Setiap kamar kecil berukuran lumayan besar sehingga para penumpang dengan mudah bisa membawa bagasi mereka ke dalam kamar kecil. Plus, toilet seatnya dibungkus oleh plastic. Layangkan tangan di atas lampu sensor, kantong plastic lama bergerak, diganti oleh yang baru. Praktis sekali.
Ketiga, pilihan dining restaurant dan fast-food franchises juga bertambah. Disamping itu banyak kiosk kiosk kecil yang menjual botol minuman dan makanan kecil.
Chicago terkenal dengan stuffed pizza ala Chicago dan hot-dog dengan topping ala Chicago. Sayangnya perut saya agak sensitif dengan pizza atau hot-dog. Dengan waktu penerbangan dan transit hampir 32 jam sebelum sampai di Jakarta, saya putuskan untuk membeli makanan yang ‘aman’ untuk perut saya; satu breakfast sandwich dari McDonald. Di luar airport sandwich yang biasanya berharga $1, di airport dijual $3. Air botol pun harganya tiga kali lipat dibandingkan di luar airport.
Karena waktu transfer lumayan lama, saya gunakan untuk jalan-jalan di terminal sambil window shopping, browsing, atau ‘just looking-looking’, terjemahan langsung dari bahasa Indonesia ‘lihat-lihat saja’.
Souvenir yang dijual di airport kebanyakan bertema Chicago sport teams. Yang paling terkenal; Chicago Bulls untuk bola basket, Chicago Cubs untuk baseball.
Museum Natural History di Chicago, terkenal sebagai satu museum yang mengandung fossil lengkap T-Rex yang bernama Sue. Saking terkenalnya fossil dinosaurus ini, O’Hara airport juga pajang satu fossil tiruan seekor dinosaurus di tengah-tengah terminal. Tinggi fossil menyentuh atap terminal.
Capai dari browsing sekeliling terminal, saya mengambil tempat duduk di sebuah rangkaian kursi yang berjejer di dekat pintu penerbangan saya dan mulai browsing Internet. O’Hara menyediakan internet gratis hanya untuk 30 menit pertama. Setelah itu penumpang harus bayar. Tapi kalau semua cookies dan browser history di hapus setelah waktu 30 menit berakhir, Internet gratis bisa didapatkan lagi. Sayangnya, saya tidak tahu trick ini. Jadi setelah 30 menit lewat, Internet gratis habis, browsing Internet selesai, saya mulai mem-browsing penumpang di sekeliling saya.
Di depan rangkaian kursi saya, kira-kira lima puluhan pelajar seumuran SMA berbahasa Jepang, berseragam sweatshirt putih dengan gambar matahari terbit berwarna biru di depan baju, asyik bermain atau bercakap dalam kelompok kelompok kecil.
“Remaja dimanapun, sama saja. Gaduh. Betul nggak?” Seorang wanita yang duduk dekat saya bertanya ke arah saya.
“Kalau nggak, ya, bukan remaja namanya,”saya katakan dengan tersenyum.
“Benar juga. Syukurlah jaman remaja kita sudah lewat. Remaja, jaman yang tidak nyaman. Betulkan?”
Saya hanya angkat bahu, karena setiap orang mempunyai pengalaman yang berbeda. Masa remaja saya ada pahit, ada manisnya. Kemudian wanita tersebut mulai bercerita tentang masa remajanya. Ceritanya lumayan menarik, walaupun agak sukar bagi saya menangkap semua cerita segala jelas, karena keramaian bendara dan logat ‘Southern’ wanita tersebut yang lumayan berat, Sayangnya sebelum ceritanya selesai, penerbangan saya ke Tokyo mulai boarding.
Teman duduk saya untuk penerbangan ke Tokyo, seorang pria muda Jepang, yang dengan ramah memperkenalkan diri. Dia baru selesai mengikuti seminggu science conference di Florida. Merasa sangat capai karena dia mulai perjalanannya dari hotel di Florida, hampir semalam sebelumnya. Jadi dia merencanakan untuk tidur sepanjang penerbangan, lagi pula Tokyo bukan tujuan terakhir. Dari Tokyo dia harus naik bullet train, bus, taxi sebelum sampai di rumahnya.
“Pesawat, kereta api, bus dan taxi….hanya boat yang ketinggalan,”saya komentar.
Dia tertawa.” Benar juga. Syukur tidak perlu naik boat. Kalau tidak, saya bisa mati kecapaian.”
Saya rasa, saat itupun teman duduk saya itu sepertinya hampir mati kecapaian. Mata sipitnya hampir tidak bisa dia buka. Dan dia benar-benar ketiduran sepanjang penerbangan, tidak makan,minum, atau ke kamar kecil. Tidak bergerak sedikitpun dari kursinya. Ajaib.
Bendara Narita, tidak seperti yang saya ingat di kenangan saya. Atap rasanya lebih pendek, terminal rasanya lebih sempit hanya kebersihannya masih sama.
Kamar kecil di Narita tidak punya toilet-seat yang dibungkus plastic, tapi punya stereo kecil yang menempel ke disamping toilet. Pencet tombol, music air terjun akan bergema di kamar kecil anda. Tujuannya, agar para pemakai kamar kecil tidak merasa sungkan melakukan businessnya. Lucu? Aneh? Masuk akal? Setiap penumpang punya pendapat berbeda.
Karena waktu transfer di Narita tidak begitu lama, saya mencoba memakai waktu saya di sana dengan bijaksana. Yang pertama kali saya ingin coba di Narita, adalah fresh sushi yang di buat oleh orang Jepang ‘asli’, bukan Jepang ‘tiruan’.
Saya daftar nama saya di salah satu sushi café yang lumayan ramai. Setelah menunggu 15 menit, saya dipersilahkan untuk duduk di kursi dengan meja yang menghadap jendela, dimana saya bisa lihat pesawat pesawat yang lagi di service di luar terminal. Saya order sushi rolls, sushi bowl, Mizo soup dan teh hijau kas Jepang. Karena saya tidak tahu bahwa mereka menaruh Wasabi di dalam gulungan sushi rolls, saya hampir kehilangan nafas ketika saya makan sushi pertama. Pengalaman baru.
Mengingatkan saya akan….
…...ratusan pengalaman baru yang menunggu saya di Jakarta.
Saya merasa tidak sabar untuk bertamu di Jakarta.
Sunday, March 13, 2016
Jalan Jalan ke Jakarta. Part 3.
Jalan Jalan ke Jakarta. Part 3.
…..Jakarta menantiku…….
Selesai dan lolos dari imigrasi saya ambil bagasi. Kemudian mengekor barisan untuk lewat bea-cukai. Ada pegawai yang melambaikan tangan sambil memanggil para penumpang : silahkan… …silahkan…...
Saya menuju ke pegawai tersebut, sekali lagi dia umumkan : silahkan…..silahkan……
Jadi ...... saya lewatin itu pegawai…
“Bu…Bu…tunggu! Bagasi Ibu harus di check dulu.”dia panggil sambil meraih bagasi saya. “Semua bagasi harus di check, Bu. " Dia menjelaskan dengan senyum ramah.
Saya juga tersenyum, “Maaf, saya kira, silahkan… silahkan…itu artinya saya boleh lewat.”
“Bukan, Bu. Magsudnya, silahkan check disini.”katanya dengan sopan.
Oh…..
Setelah terbiasa diperlakukan oleh bea-cukai America yang berteriak-teriak ke para pengunjung, seperti tentara Hitler berteriak ke orang Jahudi di concentration camp, menerima perlakuan bea-cukai Jakarta yang ramah dan sopan, merasa agak aneh dan lumayan membingungkan.
Pegawai tersebut lewatkan bagasi saya ke dalam machine pemeriksaan.
“Silahkan, Bu.”ucapnya dan menunjukan arah untuk saya ambil bagasi di ujung sebelah lain dari machine.
“Terimaksih, Bu.” Ucap pegawai yang menolong saya mengambil bagasi di ujung lain tersebut.
Bu….bu…Ibu…
Ketika saya meninggalkan Indonesia saya dipanggil…mbak…mbak…atau...dik...adik...
Sekarang, .....Bu…Ibu…
Ah, waktu cepatnya berlalu.
Selesai dengan bea-cukai, saya berjalan mengikuti arah panah di lantai, keluar dari bendara.
Hello, Jakarta!!!
Jakarta tanpa malu memeluk saya dengan hangatnya.
Tidak hanya hangat, tapi cukup panas untuk membuat keringat saya mengalir seperti pancoran. Padahal saya sampai pada tengah malam. Satu persatu saya mulai melepaskan baju saya seperti stripper amatir ; Jacket, baju lengan panjang, baju lengan pendek, hanya tank-top akhirnya tersisa menempel di badan atas saya.
Pandangan saya mencari-cari keluarga yang seharusnya datang menjemput. Tapi mereka tidak kelihatan, akhirnya saya duduk di lantai dekat dengan depan pintu. Setelah hampir setengah jam, saya mulai memikirkan untuk telpon mereka. Apa jalan di Jakarta macet juga pada tengah malam?
Saya mulai memperhatikan orang-orang yang mondar mandir di depan pintu bendara, mencoba mencari wajah yang ramah, yang saya bisa pinjam telponnya. Kemudian baru ingat, saya tidak punya nomor telpon. Semuanya simpan di Skype. Tanpa Internet, Skype tidak bisa dibuka. Tidak ada Skype, tidak ada nomor telpon. Technology!!!!!
Untunglah akhirnya jemputan saya datang. Setelah sedikit engineering dalam menaruh bagasi saya di mobil, kami semua bisa meninggalkan bendara menuju ke hotel via highway.
Mungkin mata saya lamur, tapi highway di Jakarta hampir sama dengan di A.S. Banyak truck dan punya beberapa jalur. Bayar toll sesering di toll-road daerah Chicago. Hanya kecepatan mobil tidak secepat di A.S.
“Jakarta lumayan bagus. Highway-nya keren,” saya komentar.
“Ini tengah malam, nggak macet. Jam pergi-pulang kantor, lumayan macet.” Mereka jelaskan.”Tapi kita di Tengerang, bukan Jakarta.”
Setelah hampir sejam di mobil, kami sampai di hotel atau tepatnya ‘guest-house’.
“Kita di Jakarta?”saya tanya.
“Tidak. Masih di Tengerang.” Jawaban yang saya dapat.
Pagi hari selanjutnya begitu bangun, saya melihat keluar jendela. Jalanan sepi, hanya beberapa mobil yang lewat.
“Sepi jalannya. Tidak seramai yang saya sangka.”
“Kita di Tengerang. Jalan ya, sepi. Jakarta beda.”
Okay....
Untuk makan siang saya diajak ke restaurant yang terkenal dengan aneka sambal unique yang pedasnya bisa diukur seperti cuaca diukur thermometer. Udara panas. Panasnya sambal? Lebih dahsyat. Wow, saya tidak sabar tunggu.
Habis makan, makanan super hot sambal dan ayam goreng, saya tanya ; “Ini Jakarta?”
“Bukan, ini Tengerang.”
Pada sore hari saya diajak ke Mall baru ber lantai enam dan super modern. Di dalam mall banyak ada makanan dan minuman franchised dari America, Australia dan Inggris. Tapi yang paling menarik adalah Japanese bakery dan food court-nya. Segala macam sushi, tempura, pancake dijual di sana. Semua dibuat fresh. Suasana food court seperti di Jepang dan bukan Jakarta.
“Kita di Jakarta?”saya tanya.
“Tidak, ini masih di Tengerang.”
'Cold Stoned Creamery' 'Aneka sushi'. 'Mie goreng di atas pancake.'
Cuaca sudah mulai gelap ketika kami meninggalkan Mall untuk kembali ke hotel. Karena jalan menuju Mall, jalur satu arah, pulangnya kami harus ambil jalan lain. Sempat juga kita tersesat. Karena GPS tidak updated jalan yang lagi di tutup untuk diperbaiki. Mutar mutar diantara banyak traffic, saya tanya;
"Ini Jakarta.?”
“Bukan. Kita masih di Tengerang.”
Besoknya, saya diajak minum kopi di coffee house yang terkenal di Jakarta. Mereka tidak jual frappé, tapi jual kopi hangat atau didinginkan dengan es batu. Okay. Herannya, coffee house ini sebagai coffee house yang terkenal di Jakarta, sedikitpun tidak berbau kopi.
“Terkenal di Jakarta. Kita di Jakarta?”
“Bukan. Ini masih Tengerang.”
Malam itu, saya di traktir lagi untuk mencoba makanan di restaurant yang terkenal di Jakarta. Restaurantnya outdoor. Mereka jual seafood. Kebanyakan seafood tersebut masih hidup dan berenang dengan santai di dalam puluhan aquarium besar, sebelum pengunjung restaurant membuat pilihan mereka, kemudian pilihan seafood ini ditimbang oleh pegawai restaurant, lantas diserahkan ke dapur, dimana seafood ini dipanggang, dimasak, digoreng atau direbus.
Saya baca nama restaurantnya yang ditulis dengan lampu neon super besar di puncak atap restaurant. ‘ Bandara Jakarta.’
Ha….! Akhinya.!!....Jakarta!!!
“Kita sekarang pasti di Jakarta.”saya katakan.
“Bukan. Ini masih di Tengerang.”
Lho.....?
“Jakarta setengah hari dari sini kalau jalan tidak macet.”
“Setengah hari? Jauh banget. Tengerang bukan tetangga dekat dengan Jakarta?”
“Tengerang adalah kota dan daerah lain dari Jakarta.”
“Monas tidak bisa kelihatan dari sini?”
“Monas di Jakarta pusat. Lebih jauh lagi.”
“Jadi…..????”
Seharusnya article ini judulnya : Jalan Jalan ke Tengerang.
Setelah melewati dua hari penerbangan akhirnya : Jakarta yang jauh di mata, tetap jauh dari pandangan mata saya. Jakarta yang saya peluk di hati, masih belum sempat mengembalikan pelukan saya.
Tapi.....
......perjalanan ke Tengerang tidak kekurangan apapun dalam mengenalkan saya dengan pengalaman baru atau mengingatkan saya dengan kenangan lama. Tidak saja saya sempat singgah dan melihat airport yang saya kenal seperti teman lama, tapi juga sempat mendengar cerita baru dari teman perjalanan saya. Setiap cerita, menjadi selembar cerita di dalam buku kenangan saya.
Mengingatkan saya kebenaran perkataan :
" The Journey Is More Important Than The Destination."
Saturday, March 12, 2016
Jalan Jalan ke Jakarta, part 2.
Jalan Jalan ke Jakarta. Part 2.
…..penerbangan dari Tokyo ke Jakarta. …..
Teman duduk saya dalam penerbangan menuju Jakarta, seorang pria berkulit putih sebaya umurnya dengan saya. Dia duduk di aisle-seat, saya di window-seat. Dia sapa: hello, saya sapa: hello. Dia baca buku. Saya baca buku. Dia makan. Saya makan. Dia tidur. Saya tidur. Kami seperti bayangan atau cermin dari satu sama lainnya.Begitulah perkenalan kami. Harmoni.
Delapan setengah jam lagi sebelum Jakarta.
Tapi ketika saya ingin ke kamar kecil, dia tetap tidur. Saya sentuh dia beberapa kali, dia tidak bangun. Saya sentuh sambil ahem…ahem…dia tidak bangun. Terpaksa saya keluarkan Kung Fu dahsyat saya. Saya lemparkan sepatu saya ke aisle pesawat kemudian dengan hati hati lompati dia dengan sukses. Kesuksesan ini membuat saya merasa lebih muda, tepatnya menjadi anak kecil yang nakal . Sayangnya setelah saya selesai pakai kamar kecil dan kembali ke kursi saya, Kung Fu saya kehilangan dahsyatnya . Melompat kembali ke kursi yang sempit tanpa tempat untuk ber pegangan, sangat impossible. Lama juga saya mondar mandir di aisles di tengah pesawat. Sampai akhirnya ada turbulent, seat-belt lampu dinyalakan. Pramugari melotot ke arah saya. Saya terpaksa bangunin dia.
Waktu dia buka mata dan melihat saya yang lagi berdiri di luar kursi kami, dia bingung…kok?
“Saya lompatin kamu tadi. Maaf,” saya jelaskan.
“Lain kali bangunkan saya. Nggak apa apa kok,”katanya.
Saya bilang,”Ok.” Tapi dalam hati ngumpet: kalau kamu gampang dibangunin saya tidak perlu loncat tadi itu.
Dia keluar dari kursinya memberi ruangan untuk saya masuk ke kursi saya. Saat itu tiba tiba pesawat bergelojak menerima pengaruh turbulent. Dia kehilangan keseimbangan, badannya menabrak badan saya. Obsession by Calvin Klein, memenuhi hidung saya. BBku seperti got yang macet seminggu. BB dia segar seperti orang mau ke pesta. Tidak harmoni.
Dua jam lagi sebelum Jakarta.
“Maaf…”giliran dia yang minta maaf.
“Nggak apa apa,” jawab saya. Dengan tergesa saya duduk di kursi saya dan pasang seatbelt.
“Turbulentnya lumayan,” kata dia beberapa menit kemudian ketika pesawat tergoncang lagi.
“Yah, lumayan,” saya jawab dengan sopan.
“Tadi ketiduran. Turbulent nggak terasa, sudah lama...?”
“Nggak. Tapi kalau lagi di plototin mbak pramugari, rasanya tahunan.”
Dia tertawa menunjukan gigi sehat yang putih rapi ,seperti tembok putih sebuah benteng. Saya tertawa juga. Harmoni kembali.
“Biasanya staff Asian airline lebih ramah daripada yang American,” katanya.
“Betul. Hm…sering ke Asia?” saya basa basi.
“Asia, dua kali setahun. Tapi ini kunjungan ketiga ke Indonesia. Terakhir kali tiga tahun yang lalu.”
“Menikmati Indonesia?”
Dia menggeleng.” Belum pernah kemana-mana. Hanya conference di Jakarta, lantas balik ke U.S.”
“Sayang,” saya bilang.
“Business. No pleasure,”dia ketawa kecil,”Tapi kali ini rasanya saya akan punya waktu mengunjungi Jogjakarta. Dari buku yg saya baca, kelihatannya menarik. Penuh sejarah.”
Saya lirik buku yang dia baca tadi dan sekarang terbengkalai di kursi kosong diantara kursi kami. ‘PRAMBANAN’ judulnya.
"Pernah ke sana?”
Saya menganggukkan kepala. “Waktu masih muda. Beberapa kali.”
“Tempat menarik?”
“Lumayan. Lebih menarik jika ada Lara Croft.”
Dia menaikkan alis mata, “Lara Croft, The Tomb Raider? The game, Angelina Jolie?”
Saya anggukan kepala.
Dia ketawa kecil. “Rasanya waktu itu, Lara Croft belum di inventasi.”
“Oh, terimaksih untuk mengingatkan ‘ketuaan’ saya,” saya bergurau setengah ketawa.
Dia ikut tertawa, sekali lagi saya melihat giginya yang sehat, putih dan rapi. Membuat gigi saya seperti kuningan rasanya. Tidak harmoni.
“No, problem," ucapnya mengembalikan gurauan saya.
Selanjutnya percakapan kami berkisar antara film, tempat yang pernah kiami kunjungi , buku yang kami baca serta pengarangnya. Pramugari datang dan pergi dengan snacks dan minuman. Sebentar lagi pesawat akan melandas di Jakarta.
Dua hari telah lewat sejak saya mandi terakhir. BB saya cukup membuat tikus tergeletak pingsan.. Rambut saya rasanya lebih lengket ke kepala saya daripada manisan karet di jalanan lengket ke bawah sepatu. Tapi dia kelihatan fresh. Rambutnya yang berwarna strawberry blonde, walaupun tipis, kelihatan bersih. Mata abu-abu birunya masih jernih, tidak bengkak kemerahan seperti mata saya. Tidak harmoni.
Tapi percakapan kami cocok sekali. Harmoni.
Ketika pesawat melandas, percakapan kami juga tiba tiba melandas karena dia baru ingat dia belum punya embankment card jadi dia sibuk cari pramugari. Saya sendiri bergegas keluar dari pesawat kemudian secepatnya mencari kamar kecil untuk menghindari antrian panjang.
Setelah selesai dengan kamar kecil saya jbaru sadar embankment card di tas saya belum lengkap. Saya berhenti di kios informasi yang kosong. Meminjam mejanya untuk tempat menulis, melengkapi beberapa pertanyaan terakhir.
“Hi,” dia sapa dari belakang saya, “Ketemu lagi. Boleh numpang?” tanyanya tersenyum.
“Tentu saja. Silahkan.”saya geser kertas dan tas saya, membuka cukup tempat kosong di atas meja untuk dia menulis.
Dia mulai sibuk melengkapi embankment cardnya. Tulisan rapi, tangan dan kuku bersih terawat. Tulisan saya, cakar ayam.Tangan dan kuku saya seperti kulit kayu. Tidak harmoni.
Begitu saya selesai melengkapi embankment card, saya mengucapkan goodbye, kemudian berjalan ke arah imigrasi. Setelah beberapa langkah, saya dengar dia memanggil saya…
“Wait….what’s your name?”
Saya rasa saya akan ingat moment yang kami share di pesawat itu lumayan lama, mungkin seumur hidup, karena kapan lagi saya, sebagai wanita setengah umur, akan bisa dan cukup kuat melompati penumpang lain di dalam penerbangan? Percakapan ringan kami tentang film, buku, travel places, juga sempat membuat saya merasa lebih muda dan care-free, tapi.....
Waktu dan tempat, menciptakan moments. Kadang moments berlanjur seumur hidup. Kadang moments hanya satu moment saja.
Moments kami seperti moment yang terakhir. Moment kami berakhir bersamaan dengan berakhinya penerbangan.
Tanpa membalikkan badan, saya melambaikan tangan perpisahan ke arahnya dan melanjutkan langkah saya ke imigrasi.
........Jakarta menantikanku.......
Monday, March 7, 2016
Membuat Saur.
Saur adalah kelapa parut yang diberi bumbu kemudian di tumis dengan sedikit minyak sampai garing. Saur biasanya disajikan sebagai sambal tambahan untuk nasi kuning atau ketupat entil. Kadang saur juga di sajikan bersama nasi campur bungkus. Seperti nasi Jinngo yang terkenal di pulau Bali.
Kita bisa temukan kelapa parut di frozen-food section di local Asian market dengan harga kira-kira $3 sebungkus. Defrost kelapa parut ini dengan mendiamkan di ruang temperature selama 1 jam atau microwave 45 detik. Kemudian kelapa parut dipisah-pisahkan satu sama lainnya.
Bumbu yang saya pakai sangat sederhana. Lombok merah (yang pedas atau red bell pepper) dan sedikit cuka di blender dengan Magic bullet machine. Tumis bumbu ini bersama sedikit gula pasir dan beberapa daun jeruk nipis ( kafir lime leafs). Kalau tidak ada daun jeruk, kulit lime juga boleh dipakai (hilangkan semua bagian putih, pakai yang bagian hijau saja). Atau kita bisa ganti dengan sebatang serai yang dimemarkan,
Bumbu di tumis 30 detik, di atas api sedang, sampai daun jeruk mengeluarkan aroma yang harum. Masukkan kelapa parut. Aduk. Tambahkan sedikit garam. Turunkan api. Terus aduk-aduk lagi sampai saur matang dan kering. Kira-kira 35 menit an. Perlu diingat ketika kelapa parut masih lumayan basah, saur tidak perlu sering diaduk. Tapi begitu kelapa mulai sedikit kering, ( foto yang di tengah) saur harus diaduk-aduk sampai selesai. Kalau tidak, bagian saur yang menyentuh wajan cepat gosong.
Saur harus benar-benar kering untuk bisa tahan lama simpan di temperature suhu ruang. Jika anda merasa ragu dengan level kekeringan saur yang anda buat, sebaiknya simpan saur di dalam kulkas.
Selamat mencoba dan menikmati.
Membuat Ketupat Entil.
Ketupat entil adalah ketupat tipis yang dibungkus dengan daun bambu.
Langkah pertama yang kita ambil untuk membuat ketupat ini adalah membeli daun bambu di local Asian market. Biasanya 1 bungkus daun bambu berisi 2 pack, dengan harga sekitar $3. Kita juga perlu beli tali pengikat. Bisa pakai tali rumput Jepang yang juga dijual di Asian market atau pakai kitchen twine/ meat twine yang dijual di supermarket umum.
Daun bambu kering tsb kita harus rebus dahulu, sebelum kita bisa gunakan sebagai pembungkus ketupat. Rebus daun bambu sampai ganti warna ke hijau gelap. Kemudian daun bambu dibersihkan dengan paper towel. Karena daun bambu banyak "rambutnya" yang bisa melukai tangan kita, sebaiknya dalam process ini dan langkah selanjutnya kita pakai kaus tangan plastic. Kemudian kita potong kedua ujung daun bambu. Sekarang daun bambu siap dipakai.
Foto di atas menunjukan perbedaan warna antara daun bambu yang masih kering (hijau muda) dengan daun bambu yang sudah direbus (hijau tua).
Untuk isi ketupat, kita rebus beras di pengorengan dengan air perbandingan 1:1, sampai beras menjadi nasi setengah matang.
Ambil 2 daun bambu. Letakkan berdampingan dengan setengah bagian bertumpuk di atas satu sama lainnya. Menciptakan daun bambu yang lebar. Isi nasi setengah matang secukupnya, kira-kira 2 sendok makan. Ambil kedua pinggiran daun bambu, lipat ke atas nasi sehingga nasi terlindung di bawah daun. Kemudian lipat masing-masing ujung daun bambu, sehingga bungkusan sekarang menyerupai kotak setipis 1 cm. Sampingkan.
Ulang process di atas sampai semua nasi terbungkus. Gabungkan 2 bungkusan nasi daun bambu ini. Ikat dengan tali. Rebus ketupat selama 1/2 jam. Tiriskan dengan baik. Ketupat entil siap dimakan ketika ketupat tidak begitu panas ketika dipegang dengan tangan telanjang.
Selamat menikmati.
Note : Jika kesulitan membuat ketupat dibungkus plastic, ranking 1, membuat ketupat entil bisa dikategorikan ranking 4.
Sunday, March 6, 2016
Hari Raya Nyepi.
Hari Nyepi.
Jaman dulu, waktu saya masih kecil, hari raya Nyepi adalah salah satu hari raya yang saya tidak sabar tunggu kedatangannya. Bukan karena saya akan mendapatkan hadiah atau baju baru pada hari ini tapi, karena pada hari Nyepi, semua jalan di pulau Bali, tempat saya tinggal, bebas dari kendaraan ; truck, mobil atau sepeda motor.
Hari raya Nyepi adalah hari Tahun Baru untuk agama Hindu di pulau Bali. Pada hari Nyepi, umat Hindu harus me-Nyepi : tidak bekerja, tidak menyatakan lampu atau api dan tidak mengendarai kendaraan. Untuk penduduk pulau Bali yang tinggal di desa kecil yang sepi, hari raya Nyepi mungkin tidak mempunyai banyak perbedaan dengan hari lainnya. Tapi untuk penduduk yang hidup di tengah kota, seperti keluarga saya, dimana setiap hari dan tiap saat banyak kendaraan yang simpang siur, hari raya Nyepi benar-benar menjadi hari raya yang istemewa.
Pada hari raya Nyepi, begitu saya diberi ijin untuk main keluar rumah, kegiatan pertama yang saya lakukan adalah menyebrang jalan ke tetangga di depan rumah. Merasa bangga bisa menyebrang jalan tanpa dibantu oleh orang dewasa sekaligus tidak perlu kwatir ditabrak oleh kendaraan apapun. Sejenak saya berdiri di tengah jalan, menarik nafas panjang, menikmati kebebasan sebagai penguasa jalan. Mengambil posisi seperti cowboy di film, dengan gerakan hebat menembak ke kanan dan ke kiri, seolah olah semua kendaraan adalah musuh yang saya berhasil lenyapkan. Bang!... Bang!
Dengan jalan yang bebas dari kendaraan, tentu saja banyak orang tua atau muda yang juga turun bermain di jalanan. Ada yang berlomba lari, ada yang main lompat tali, ada yang main sepak bola, ada yang main kasti, ada yang main dengkleng atau berlomba membuat lukisan di permukaan aspal dengan kapur warna warni.
Ketika matahari bersinar lumayan panas, kita mencari perlindungan di bawah bayangan pohon atau rumah dan duduk mengobrol atau bermain cengklak, kelereng atau peris. Setelah itu kita pulang ke rumah masing-masing untuk menikmati makan siang yang umumnya berupa; ketupat entil (ketupat tipis yang dibungkus daun bambu), saur (kelapa parut yang diberi bumbu kemudian dimasak sampai renyah), telor asin dan kacang kapri. Dengan larangan untuk menyalakan api, semua makanan tersebut dimasak sehari sebelumnya.
Di senja hari, ketika sinar matahari tidak begitu panas lagi, anak-anak kecil sekali lagi mendapat kesempatan bermain di jalanan sampai cuaca mulai agak gelap. Ketika cuaca mulai remang-remang kita harus kembali ke rumah dan hanya diijinkan untuk duduk di depan rumah menonton para remaja yang mengambil kesempatan untuk mencari pasangan atau berpacaran. Menonton para remaja itu, saya sempat berpikir betapa enaknya jadi anak remaja waktu hari Nyepi. Pacaran tanpa perlu pergi jauh dari rumah, karena dimanapun sama saja gelapnya. Tapi ketika saya meninjak usia remaja, peraturan untuk merayakan hari raya Nyepi dirubah. Tidak hanya kendaraan yang dilarang berjalan di jalan, pendudukpun tidak diijinkan berjalan di jalan atau keluar dari rumah. Sejak itu, hari raya Nyepi di Bali benar-benar me-Nyepi.
Note: Hari Raya Nyepi untuk tahun 2016, jatuh pada tanggal 9 Maret.
Subscribe to:
Posts (Atom)